ta'aruf

Foto saya
Orang biasa, belajar lewat diskusi dan sharing ide, berusaha terbuka terhadap pemikiran orang dan referensi, dan yang penting punya prinsip tentang kebenaran.Senang bersilaturrahmi dan berbagi untuk semua.

Rabu, 03 Maret 2010

Teologi dan Etos Kerja

TEOLOGI : Motivasi dan Etos Kerja

Berkaitan dengan etos kerja (progress, modernisasi) sengaja di sini penulis membatasi dua teologi besar dalam Islam yaitu : Asy’ariyah dan Mu’tazilah. Mu’tazilah sebagai sebuah teologi yang sangat mengagungkan akal dan punya tradisi berpikir liberal, sudah barang tentu mengambil paham Qadariyah. Pernah berjaya pada masa khalifah Abbasiyah (813-833 M), ketika diakui sebagai teologi resmi yang harus dianut oleh seluruh umat Islam. Namun dalam perjalanannya, teologi ini banyak mendapat perlawanan, salah satunya adalah dari seorang ulama kenamaan yaitu Muhammad ibn Hambal yang belakangan mendirikan Madzhab Hambali, sebuah madzhab resmi di Arab Saudi.

Perlawanan ini kemudian dilanjutkan oleh Abu al-Hasan Al-Asy’ari (935 M) dengan mengambil bentuk teologi tradisional yang cenderung Jabariyah, yang akhirnya melahirkan Teologi Asy’ariyah yang berkeyakinan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan oleh Tuhan. Pada masa Khalifah Al-Mutawakkil, pamor Mu’tazilah mulai redup dan sejak itu umat Islam hanya mengenal teologi Asy’ariyah yang identik dengan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah.

Bagi umat Islam Indonesia, teologi ini bukan sesuatu yang asing karena memang paham ini secara radikal diajarkan oleh Imam Al-Ghazali yang terkenal dengan kitab Al-Ihya Ulumuddin yang dijadikan kajian wajib di banyak pesantren. Teologi ini mengajarkan doktrin takdir. Menurut Al-Ghazali, kebahagiaan hakiki bukanlah kepuasan materi tapi adalah kepuasan batin dengan cara menjauhi gemerlapnya dunia. Barangkali inilah yang dimaksud oleh Weber sebagai askesme mistik!

Dalam pandangan Fazlur Rahman, ajaran etika Al-Ghazali telah begitu dalam mengurat nadi dalam tubuh umat Islam seantero dunia , dan punya peran dalam proses penumpulan kreatifitas , etos keilmuan dan etos kerja secara simultan dan massif. Paling tidak manusia tidak lagi ‘otonom’ di hadapan Sang Khaliq. Setiap keputusan dan amalan selalu dikonsultasikan dulu pada sang Kyai atau Syaikh. Sikap tidak mandiri seorang hamba di hadapan Tuhan ini, ada kemiripan dengan praktek di kalangan Katolik Roma, di mana pengikut Katolik menjadikan para pendeta sebagai perantara. Sikap seperti ini, menurut Weber, tidak memberi peluang bagi munculnya askesme dunia.

Penting untuk digaris–bawahi bahwa Islam berbeda dari Katolik. Bisa jadi benar kata Fazlur Rahman bahwa karena begitu besarnya dominasi dan hegemoni guru spiritual itu, sehingga praktek sufisme dan mistik menjadi benar-benar berbentuk pemujaan pada orang yang dianggap suci (the cult of saint) (Amin Abdullah, 1995:135). Sekte yang seperti inilah yang oleh Weber diklaim sebagai sekte yang skeptis dan tidak memiliki asketisisme dunia seperti yang ada dalam Katolik.

Al-Ghazali membatasi pengertian akhlak (etik) sebatas pendidikan batin dan penanaman ajaran yang bersifat normative, kurang menekankan pada aspek intelek dan kurang melatih akal pikiran untuk bertindak aktif, kreatif dan dinamis. Sifat kreatif, aktif, dinamis dan inisiatif, etos ilmu dan etos kerja sangat berkaitan dengan pedidikan intelek. Jika memang begitu, maka asumsi dasar bahwa pemikiran Al-Ghazali dengan teologi Asy’ariyah ada kaitannya dengan lemahnya etos ilmu dan etos kerja, termasuk di Indonesia --- meskipun tidak mutlak--- mengandung nilai kebenaran (ibid, 1995: 138).

Secara kebetulan polemik antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah dimenangkan oleh Asy’ariyah dengan segala implikasinya, di mana umat Islam buta dan tidak mengenal doktrin selainnya. Akibat paling fatal adalah tumbuhnya fanatisme berlebihan pada Asy’ariyah dan alergi terhadap Mu’tazilah. Barangkali saja, kalau Mu’tazilah yang menang, maka sejarah Islam akan berbeda dari sekarang: bisa lebih baik, atau bahkan sebaliknya, lebih buruk.

Pengandaian apapun yang diajukan, sejarah telah membuktikan bahwa kondisi umat Islam memang tertinggal dari Barat. Pertanyaannya adalah:”Adakah yang salah dalam tubuh umat Islam?” Pantaslah untuk dikaji kembali kata-kata Albert Harouni bahwa : ”umat Islam lemah karena mereka bukan benar-benar muslim”. Dengan kata lain, mereka tidak lagi memahami dan menghayati nilai-nilai Islam dalam kehidupan, mereka telah meninggalkan tradisi intelektual yang telah diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW, sebaliknya lebih percaya pada mistik serta gemar memasukkan unsur-unsur luar yang bertentangan dengan Islam murni. Oleh karena itu pintu ijtihad harus tetap dibuka dengan tetap bersumber pada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dalam hal ini Muhammad Iqbal, seorang pemikir Pakistan mengatakan : “Ijtihad is the principle of movement”. Selain itu, sifat Islam yang universal, egaliter serta anjuran untuk hidup optimis dan disiplin, secara tegas membuktikan bahwa Islam sangat relevan dengan askesme duniawi seperti yang dikonsepsikan oleh Weber, meskipun ini berbeda dengan temuan Weber.

Penulis berpendapat bahwa konsep Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme sebagai sebuah “ideal type”- meskipun awalnya ditemukan di dalam sekte Calvinisme- juga berkembang di agama-agama lain, seperti Yahudi, Tokugawa dan Islam. Berkait dengan Islam, yang diperlukan adalah pemahaman keagamaan (religious understanding) yang tidak magis, mistis, pengagungan pada individu (individual cult), dengan tetap dibukanya pintu ijtihad (bab al-ijtihad) dan penempatan akal secara proporsioanal, yang tetap merujuk pada dua pilar Islam (ar-ruju’ ila-al-Qur’an wa al-sunnah).

Lalu apakah dengan pemahaman dan penghayatan terhadap Islam secara benar serta semangat ijtihad, umat Islam punya prospek untuk maju? Dan apakah Islam relevan bagi kehidupan moderen? Jawabnya, tidak sedikit pemikir muslim dan orientalis yang bersikap optimistik, yang salah satunya adalah Ernest Gellner. Sebagai seorang orientalis, ia memiliki apresiasi yang besar tehadap Islam, dengan mengatakan bahwa di antara 3 agama besar monoteis (samawi), The Abrahamic Religion, yaitu : Yahudi, Nasrani dan Islam, baginya :

“Islam adalah yang paling dekat pada modernitas”, disebabkan oleh kuatnya komitmen ajaran Islam tentang universalisme, skriptualisme (mengajarkan bahwa kitab suci dapat dibaca dan dipahami oleh siapa saja) dan mendorong tradisi baca tulis (literacy), egalitarianisme spiritual (tidak ada sistem kependetaan, karahiban), yang meluaskan partisipasi masyarakat kepada semua anggotnya (mendukung apa yang disebut sebagai participatory democracy), dan akhirnya, yang mengajarkan sistematisasi rasional kehidupan sosial (Nurcholish Madjid, 1992:467-468).

Wallahu a’lamu bishshawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

umpan balik