ta'aruf

Foto saya
Orang biasa, belajar lewat diskusi dan sharing ide, berusaha terbuka terhadap pemikiran orang dan referensi, dan yang penting punya prinsip tentang kebenaran.Senang bersilaturrahmi dan berbagi untuk semua.

Sabtu, 06 Februari 2010

Sambatan Mbangun Umah

Sambatan Gawe Umah:

Studi Tentang Solidaritas Masyarakat Perdesaan di Banyumas

Oleh: A.Farros

Tulisan ini merupakan sebuah kajian tentang “principle of reciprocity” dalam masyarakat Jawa khususnya Banyumas yang berkaitan dengan tradisi turun temurun yang mencirikan masyarakat perdesaan yang kental dengan solidaritasnya yang tinggi. Banyak tradisi yang ada di daerah ini seperti: tradisi kondangan, rewang, sambatan, kerigan dan gerakan serta yang lainnya. Tradisi-tradisi ini bersifat melibatkan banyak orang, tidak berorientasi pada keuntungan, dan memiliki sanksi social yang bersifat laten namun efektif. Namun dalam perkembangannya, seiring dengan kemajuan masyarakat, tradisi ini makin luntur dan digantikan dengan system yang lebih bersifat untung rugi dan pertimbangan pembagian kerja (devision of labor). Tulisan ini akan lebih focus pada kajian tentang tradisi sambatan di daerah Banyumas dengan menggunakan data lapangan dan studi literature.

Tradisi adalah kebiasaan sosial yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya melalui proses sosialisasi. Tradisi menentukan nilai-nilai dan moral masyarakat, karena tradisi merupakan aturan-aturan tentang hal apa yang benar dan hal apa yang salah menurut masyarakat.Konsep tradisi ini meliputi pandangan dunia (world-view) yang mencakup kepercayaan tentang masalah kehidupan dan kematian serta peristiwa alam dan makhluknya, atau konsep tradisi itu berkaitan dengan sistem kepercayaan nilai-nilai dancara serta pola pikir masyarakat (Garna: 2003 : 186).

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa tradisi adalah pandangan dunia tentang kehidupan dan kematian. Kehidupan manusia mencakup apa saja yang menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat baik itu yang bersifat individual maupun komunal dan itu bersifat turun menurun. Termasuk dalam konteks ini adalah tradisi gotong royong berupa sambatan , khususnya yang berhubungan dengan tradisi mbangun umah di kalangan wong Banyumasan.

Dalam masyarakat dikenal adanya tolong menolong secara kolektif yang disebut dengan sambatan. Sambatan merupakan suatu sistem gotong royong di kampung dengan cara menggerakkan tenaga kerja secara massal yang berasal dari warga kampung itu sendiri untuk membantu keluarga yang sedang tertimpa musibah atau sedang mengerjakan sesuatu, seperti membangun rumah, menanam serta memanen padi dan menyelenggarakan pesta pernikahan.
Sambatan dilakukan oleh warga kampung dengan sukarela tanpa mengharapkan upah atas pekerjaaannya itu karena didasari oleh asas principle of reciprocity, yaitu siapa yang membantu tetangganya yang membutuhkan maka suatu saat pasti ia akan dibantu ketika sedang membutuhkan. Selain itu sambatan juga dilandasi oleh falsafah hidup ‘sapa nandur kabecikan, mesti bakal ngunduh’ (siapa menanam kebaikan pasti akan memetik hasilnya) (Ahmad Haidar, Harian Joglo Semar, 6-3-2008).

Sambatan berasal dari kata sambat, yang berarti minta tolong, minta bantuan kepada orang lain. Karena seseorang punya kepentingan atau keperluan yang tidak bisa dilakukan sendiri maka dia akan sambat/minta tolong pada orang lain agar membantunya. Maka terlaksanakanlah kegiatan sambatan, misalnya seseorang akan membangun rumah.

Sambatan adalah realisasi dari gotong royong yang melibatkan banyak orang yang dilaksanakan bersama-sama dan sukarela. Gotong royong untuk kepentingan bersama digerakkan oleh semangat solidaritas mekanik, yang menurut Durkheim, dilakukan karena adanya rasa kebersamaan dan senasib, bersifat tradisional yang pembagian kerja dalam masyarakat masih rendah, norma-norma yang cenderung represif dimana apabila ada yang melanggar maka akan dikenai sanksi sosial, dan masih adanya kesatuan dan integrasi sosial (social integrity) yang tinggi.

Semangat bergotong royong berupa sambatan, melibatkan warga beramai-ramai membantu warga lainnya yang sedang punya gawe. Mereka ikut memperbaiki, bahkan mendirikan rumah tanpa mengharap imbalan apa pun. Budaya sambatan - dengan muatan sikap simpati dan empati- itu merupakan bagian dari budaya adiluhung masyarakat Jawa, dan terasa manfaatnya bagi masyarakat yang kurang mempu.

Ini berbeda dengan solidaritas organik yang mencirikan masyarakat yang lebih maju, dengan sistem kerja yang terspesialisasi (division of labor), kerja didasarkan pada kontrak dan upah, dan tingkat integrasinya lebih rendah. Dalam hal ini, upaya kontrol individu menjadi lemah dan menuju ke suatu keadaan yang berkurangnya norma-norma (normless) yang lebih tinggi dalam masyarakat (Kinloch: 2005: 90). Sehingga kerja sosial seperti gotong royong bisa diganti dengan memberi imbalan uang atau menyewa tenaga orang lain.

Di Masyarakat perdesaan seperti di Banyumas tradisi sambatan adalah gambaran jelas tentang masyarakat “paguyuban”, yang merupakan karakteristik kuat yang masih terikat oleh nilai-nilai lokal dan semua orang yang ada harus terlibat. Di desa-desa, setiap ada orang yang akan membangun rumah maka dia akan mengundang para tetangga dan saudaranya untuk membantu. Para bapak dan anak laki-laki yang sudah dewasa akan membantu secara fisik sebagai wakil dari keluarganya. Sedangkan kaum ibu biasanya membantu urusan dapur untuk mempersiapkan ‘nyamikan’ berupa nasi tumpeng dan kebutuhan lainnya.

Gotong royong pada umumnya dilandasi oleh kesadaran dan kerelaan untuk mengorbankan sebagain tenaganya demi kepentingan umum. Gotong royong untuk kepentingan umum digerakkan oleh rasa solidaritas bahwa aktivitas yang dilakukan akan bermanfaat bersama. Ada yang menarik bahwa secara inklusif kegiatan ini dilakukan bukan tanpa pamrih. Gotong royong ( sambatan: penulis) yang dilakukan antar keluarga didasarkan azas timbal balik. Siapa saja yang pernah menolong tentu akan menerima pertolongan balik dari pihak yang ditolongnya. Pemberian atas prestation (benda, jasa dan sebagainya) pada gilirannya akan menimbulkan kewajiban pula bagi pihak lain yang menerimanya, untuk membalasnya di kemudian hari (Priyono: 2008: 34), inilah yang dinamakan sebagai principle of reciprocity.

Walaupun kegiatan gotong royong (seperti kerigan, sambatan, kondangan, rewang dll) adalah bersifat sosial, tapi ia mengikat orang-orang yang ada di lingkungan setempat, dan pada perkembangannya kemudian mengarah pada tindakan yang bersifat saling membalas. Seseorang memberi apa dan dalam jumlah berapa, maka ketika punya gawe (hajat), dia akan mendapat sepadan dengan yang telah diberikannya.

Masyarakat Perdesaan Banyumas bukanlah orang-orang yang tertinggal dan selalu tradisional. Betapapun tinggi satus sosialnya (pendidikan, ekonomi dll), ketika seseorang masih mengidentifikasi diri sebagai bagian dari masyarakat desa, maka keterikatan dan solidaritas sosialnya lebih kuat dan harus menjunjung tinggi bila dibanding ketika dia berinteraksi dengan orang-orang di daerah perkotaan.

Bisa jadi karena seseorang memiliki banyak peran, misalnya dia menjadi pengusaha sekaligus warga, maka ketika harus mengikuti sambatan rumah tetangga dan dia banyak kegiatan, solusi akhir biasanya mewakilkan pada orang lain atau memberi sesuatu yang bentuknya bukan uang. Karena pemberian uang pada saat sambatan dianggap tidak etis. Atau ketika seseorang tidak bisa sama sekali mengikuti sambatan, biasanya dia akan minta pamit pada sang empunya hajat (sambatan)

Sambatan biasanya dilakukan pada awal pemasangan pondasi rumah jawa itupun hanya satu hari, karena untuk penyelesaiannya (finishing) biasanya dilakukan oleh tukang. Jauh hari sebelum acara sambatan dilaksanakan, yang punya gawe harus sudah mempersiapkan seluruh bahan bangunan yang akan dipasang. Bila para tetangga dan saudara saat sambatan tidak mendapat upah, tapi sekedar nyamikan dan tumpeng (nasi dalam bakul besar dan dikasih ampas kelapa yang gurih dan sekedar lauk pauk), maka para tukang akan mendapat upah. Untuk rumah permanen dari batu bata, sambatan dilakukan pada saat pemasangan kayu balok, usuk, reng dan genteng.

Dengan adanya sambatan warga miskin akan sangat terbantu dan ringan dalam hal biaya ketika membangun rumah, pelaksanakan pernikahan dan hajatan lainnya. Cukup banyak tentunya warga miskin yang harus menanggung utang banyak untuk mencukupi kebutuhan membangun atau meperbaiki rumah dan menyelenggarakan hajatan, bila tidak ada sambatan. (Hasil perbincangan penulis dengan warga Desa Purwodadi Kec.Tambak dalam acara poma-pami ,- sejenis kegiatan arisan -, rutin tingkat RT)

Sambatan ini masih banyak dilakukan oleh orang-orang desa di Banyumas yang dilakukan secara turun temurun sampai sekarang. Kegiatan ini telah berhasil membentuk hubungan solidaritas sosial yang kuat dan mengikat bagi para anggotanya. Bahkan tradisi sambatan sudah menjadi pranata sosial yang tidak boleh dilanggar, karena bagi yang melanggarnya akan mendapat sanksi sosial. Leopold Von Wiese dan Becker mendefinisikan pranata sosial sebagai:’ Suatu jaringan proses-proses hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia yang berfungsi untuk memelihara hubungan-hubunguan tersebut serta pola-polanya, sesuai dengan kepentingan-kepentingan manusia dan kelompok. ( Sony A. Nulhaqim tentang Pranata Sosial).

Sebagai perbandingan, dalam masyarakat perkotaan tradisi sambatan tidak ada lagi, seperti halnya di pusat-pusat kota di Banyumas. Bila ada orang kota punya gawe umah , maka semuanya akan dikerjakan oleh para tukang dengan sistem upah harian ataupun borongan. Mereka bekerja berdasarkan pada keahliannya dan satu sama lain saling tergantung.

Menurut Tonnies, masyarakat perkotaan (urban society) mencerminkan sikap gesellschaftlich, bersifat patembayan dan segala sesuatu diukur dengan uang. Yang ini berbeda dengan masyarakat perdesaan (rural society) yang gemeinschaftlich, masyarakat paguyuban yang lebih mengedepankan solidaritas mekanik. Dalam adat masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam, tradisi sambatan, kondangan dan rewang menemukan titik temu dengan konsep ta’awun (saling tolong dan tergantung satu sama lain).

Semoga tulisan singkat ini bermanfaat.

Tipologi Tonnies Tentang Model Hubungan Sosial:


Gemeinschaft

Gesellschaft

Faktor-faktornya



Kehidupan

Masyarakat

Hubungan

Norma

Motif

Ikatan sosial

Komunal

Tradisional

Keluarga, dekat, instink

Kasih sayang , memahami

Saling menolong dan menjaga

Darah, Tempat, Pikiran

Publik

Industri

Ekonomi, impersonal, artifisial

Nilai-nilai ekonomi, buruh, konsumsi

Persaingan ekonomi

Pertukaran kontrak ekonomi

(Kinloch: 2005: 97)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

umpan balik