ta'aruf

Foto saya
Orang biasa, belajar lewat diskusi dan sharing ide, berusaha terbuka terhadap pemikiran orang dan referensi, dan yang penting punya prinsip tentang kebenaran.Senang bersilaturrahmi dan berbagi untuk semua.

Jumat, 02 April 2010

Qul Khoiron Au Liyasmut!!!

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda : “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangga dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya”. [Bukhari no. 6018, Muslim no. 47]

Kalimat “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat”, maksudnya adalah barang siapa beriman dengan keimanan yang sempurna, yang (keimanannya itu) menyelamatkannya dari adzab Allah dan membawanya mendapatkan ridha Allah, “maka hendaklah ia berkata baik atau diam” karena orang yang beriman kepada Allah dengan sebenar-benarnya tentu dia takut kepada ancaman-Nya, mengharapkan pahala-Nya, bersungguh-sungguh melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Yang terpenting dari semuanya itu ialah mengendalikan gerak-gerik seluruh anggota badannya karena kelak dia akan dimintai tanggung jawab atas perbuatan semua anggota badannya, sebagaimana tersebut pada firman Allah :

“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya kelak pasti akan dimintai tanggung jawabnya”. (QS. Al Isra’ : 36)

Dan juga firman-Nya:

“Apapun kata yang terucap pasti disaksikan oleh Raqib dan ‘Atid”. (QS. Qaff : 18)

Bahaya lisan itu sangat banyak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda:
“Bukankah manusia terjerumus ke dalam neraka karena tidak dapat mengendalikan lidahnya”.

Beliau juga bersabda :
“Tiap ucapan anak Adam menjadi tanggung jawabnya, kecuali menyebut nama Allah, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah kemungkaran”.

Barang siapa memahami hal ini dan beriman kepada-Nya dengan keimanan yang sungguh-sungguh, maka Allah akan memelihara lidahnya sehingga dia tidak akan berkata kecuali perkataan yang baik atau diam.Sebagian ulama berkata: “Seluruh adab yang baik itu bersumber pada empat Hadits, antara lain adalah Hadits “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam”. Sebagian ulama memaknakan Hadits ini dengan pengertian; “Apabila seseorang ingin berkata, maka jika yang ia katakan itu baik lagi benar, dia diberi pahala. Oleh karena itu, ia mengatakan hal yang baik itu. Jika tidak, hendaklah dia menahan diri, baik perkataan itu hukumnya haram, makruh, atau mubah”. Dalam hal ini maka perkataan yang mubah diperintahkan untuk ditinggalkan atau dianjurkan untuk dijauhi Karena takut terjerumus kepada yang haram atau makruh dan seringkali hal semacam inilah yang banyak terjadi pada manusia.

Allah berfirman :
“Apapun kata yang terucapkan pasti disaksikan oleh Raqib dan ‘Atid”. (QS.Qaaf : 18)

Para ulama berbeda pendapat, apakah semua yang diucapkan manusia itu dicatat oleh malaikat, sekalipun hal itu mubah, ataukah tidak dicatat kecuali perkataan yang akan memperoleh pahala atau siksa. Ibnu ‘Abbas dan lain-lain mengikuti pendapat yang kedua. Menurut pendapat ini maka ayat di atas berlaku khusus, yaitu pada setiap perkataan yang diucapkan seseorang yang berakibat orang tersebut mendapat pembalasan.

Kalimat “maka hendaklah ia memuliakan tetangganya…….., maka hendaklah ia memuliakan tamunya” , menyatakan adanya hak tetangga dan tamu, keharusan berlaku baik kepada mereka dan menjauhi perilaku yang tidak baik terhadap mereka. Allah telah menetapkan di dalam Al Qur’an keharusan berbuat baik kepada tetangga dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
“Jibril selalu menasehati diriku tentang urusan tetangga, sampai-sampai aku beranggapan bahwa tetangga itu dapat mewarisi harta tetangganya”.

Bertamu itu merupakan ajaran Islam, kebiasaan para nabi dan orang-orang shalih. Sebagian ulama mewajibkan menghormati tamu tetapi sebagian besar dari mereka berpendapat hanya merupakan bagian dari akhlaq yang terpuji.

Pengarang kitab Al Ifshah mengatakan : “Hadits ini mengandung hukum, hendaklah kita berkeyakinan bahwa menghormati tamu itu suatu ibadah yang tidak boleh dikurangi nilai ibadahnya, apakah tamunya itu orang kaya atau yang lain. Juga anjuran untuk menjamu tamunya dengan apa saja yang ada pada dirinya walaupun sedikit. Menghormati tamu itu dilakukan dengan cara segera menyambutnya dengan wajah senang, perkataan yang baik, dan menghidangkan makanan. Hendaklah ia segera memberi pelayanan yang mudah dilakukannya tanpa memaksakan diri”. Pengarang juga menyebutkan perkataan dalam menyambut tamu.

Selanjutnya ia berkata : Adapun sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam “maka hendaklah ia berkata baik atau diam” , menunjukkan bahwa perkatan yang baik itu lebih utama daripada diam, dan diam itu lebih utama daripada berkata buruk. Demikian itu karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam sabdanya menggunakan kata-kata “hendaklah untuk berkata benar” didahulukan dari perkataan “diam”. Berkata baik dalam Hadits ini mencakup menyampaikan ajaran Allah dan rasul-Nya dan memberikan pengajaran kepada kaum muslim, amar ma’ruf dan nahi mungkar berdasarkan ilmu, mendamaikan orang yang berselisih, berkata yang baik kepada orang lain. Dan yang terbaik dari semuanya itu adalah menyampaikan perkataan yang benar di hadapan orang yang ditakuti kekejamannya atau diharapkan pemberiannya.

____________________
Diambil dari Hadits Arba’in An-Nawawi Dengan Syarah Ibnu Daqiqil ‘Ied , versi e-book, oleh Abu ‘Abdillah

Hidup Yang Sehat

Hidup Yang Sehat

Siapapun pasti ingin hidup sehat dan awet muda. Namun tidak semua dari kita mau dan mampu menempuh cara hidup yang sehat. Apalagi dengan kondisi masyarakat yang terus maju, hidup semakin di manjakan dan dimudahkan. Kita suka makan enak, tapi tidak peduli dengan kandungan lemak, kolesterol dan glukosa yang terkandung dalam makanan yang kita konsumsi. Sering duduk santai, kurang gerak, namun mata terlalu sibuk dengan tontonan di layar kaca, plus camilan gorangan yang kaya minyak dan asinan. Bermalasan untuk olah raga, dengan alasan terlalu sibuk dengan setumpuk pekerjaan, yang bisa jadi tidak begitu penting dan sekadar alasan yang dibuat-buat. Hanya sekadar ke rumah tetangga, kita malas untuk berjalan kaki, motorpun ada, dengan alasan : untuk efesiensi waktu.

Tanpa sadar atau justru kita sangat sadar, bahwa gaya hidup (lifestyle) dan pola makan kita sedikit demi sedikit telah berubah, bukan lagi karena factor kebutuhan (consumption by need)tapi digiring dikonstruksi dan di manipulasi oleh tuntutan mode, hasrat (desire) dan aktualisasi diri yang semu. Pola seperti ini secara permanent sudah ter-install dalam perilaku keseharian kita, sehingga untuk men-delate-nya kita enggan, karena takut diklaim manusia produk jadul, dan kuno!!

Sejatinya, dalam tubuh kita ini ada tulang dan persendian, air, darah serta oksigen dan lain-lain yang masing-masing punya hak untuk bekerja secara normal dan alamiah sesuai dengan kebutuhan. Jika sinergitas organ tubuh kita dapat berfungsi normal, maka kita akan merasakan arti sehat, hidup yang tangkas, fit, tidak loyo dan malas serta penuh vitalitas.Kesehatan akan men-drive kita untuk selalu bersemangat dan membangun optimisme dalam meraih sukses dalam hidup.

Namun sehat fisik badan kita, ternyata bukan sesuatu yang bersifat independent, artinya kesehatan yang kita rasakan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor yang sangat berkait berkelindan. Kita bukanlah sejenis binatang yang hanya memiliki instinct untuk sekadar makan sepuasnya dan menyalurkan hasrat seksual sebebasnya. Kita lihat ayam bisa makan sepuasnya tak tahu halal haram, bisa menyalurkan hasrat syahwatnya seenaknya dan sekenanya tanpa takut jeratan hukum. Ketika ayam sehat, komunitas mereka juga tak merayakan sebagai bangsa yang sehat. Sebaliknya, ketika ada yang sakit, tak ada pula ayam lain yang terpanggil untuk menolongnya dan berusaha mengobati. Bahkan sampai mati sekalipun! Sekali lagi, kita ini beda dengan binatang!!!!

Bila kita menerapkan pola makan dan gaya hidup yang sehat, maka akan berpengaruh signifikan bagi kesehatan tubuh kita. Betapapun makanan itu halal, di situ ternyata masih ada regulasi yang sangat mengangumkan yang disodorkan oleh Islam yang mulia ini, yaitu : TIDAK BERLEBIH-LEBIHAN. Rasulullah Muhammad SAW memberi tips cara makan sehat, yaitu: “BERHENTILAH MAKAN SEBELUM KENYANG”. Coba kita kritik diri kita. Sudahkah kita menepati teladan agung kita ini? Atau jangan-jangan kita sering nambah makan dan makan tanpa aturan?

Kita sering sangat ceroboh dalam makan yang berakibat fatal pada resistensi dan imunitas tubuh kita. Sudah sangat jelas bahwa merokok itu mengganggu kesehatan, tapi masih banyak pula orang yang nekad menghisapnya. Mereka berdalih: ini hak azasi saya, dan dalam agama hukumnya toh sebatas mubah atau makruh.Penulis sendiri sangat setuju dengan Keputusan hukum HARAM untuk rokok. Bukan karena penulis tidak merokok. Tapi, dilihat dari segi manapun dan sudut pandang apapun, merokok itu merugikan, merusak, membunuh, dan wujud dari perilaku boros.

HATI YANG TENANG (THUMA’NINATUL QOLBI)

Untuk menjadi sehat tidak cukup hanya dengan menjaga kesehatan fisik dan pola hidup teratur. Ada sisi lain dalam diri manusia yang perlu disentuh dan dimunculkan dalam rangka mem-balance hidup kita sebagai manusia. Manusia itu dinilai tidak hanya sebatas sisi performa (bagusnya fisik, kecerdasan akal) saja, tapi lebih urgen lagi adalah keseimbangan dalam emosi dan kematangan dalam beragama (spiritual maturity). Sekali lagi, manusia itu berbeda dari binatang!!

Akan laku keras dan bernilai jual tinggi, kalau ayam yang diperdagangkan itu sehat dan gemuk.Karena memang standar yang dipakai di pasar ayam itu memang sebatas itu-itu saja. Tidak ada timbangan yang dipakai untuk mengukur korelasi positif antara stabilitas kejiwaan ayam dengan harga di pasaran. Dan tidak ada pertimbangan bagi penjual dan pembeli tentang tingkah laku keseharian ayam dengan nilai jualnya. Karena yang menjadi ukuran paten adalah : sehat dan gemuk. Yang ini jelas berbeda dengan yang namanya makhluk manusia.

Manusia yang memiliki kamatangan dalam beragama Islam, dan menempatkan diri sebagai hamba ciptaan Allah SWT, akan tunduk dan manut dengan tata aturan dan instruksi dari Sang Pencipta. Dirinya ikhlas dan ridho diatur oleh Sang pencipta, tidak berontak dan nggrundel dengan apa yang diperintahkan oleh-Nya. Dirinya berusaha semaksimal mungkin untuk menyelaraskan getar hatinya, gerak bibirnya dan langkah tubuhnya dengan tuntunan dinul Islam. Tidak merasa berat dan enggan untuk merapat (muroqobah) dan meratap (istighotsah) pada Allah di tengah kegelapan malam di saat manusia kebanyakan lelap dalam hangatnya tidur, karena kokohnya paduan antara keikhlasan hati dan kuatnya ‘azzam (kemauan) diri untuk menjadi manusia pilihan.

Muslim yang hanif, adalah manusia muslim yang tidak berat hati untuk berbagi, suka membutakan matanya dari tontonan yang tidak layak untuk dilihat, menjaga lidah dan tangannya dari berbuat yang menyakiti muslim yang lain, men-tulikan telinganya dari suara-suara syaithoniyah, meluruskan langkah kakinya untuk tetap berada di atas jalan kebenaran, memposisikan kecerdasan akalnya agar sentiasa terpandu oleh wahyu Allah, dan menjaga hati agar tetap kokoh dalam beriltizam dengan Islam dan sabar dalam menghadapi semua persoalan.

Substansi dari ini semua adalah: menjadi manusia yang zuhud yang dicintai oleh Allah Subhanahu wata’ala dan dicintai oleh manusia lain. Tidak serakah pada dunia, bersyukur pada Allah, tidak memendam dendam pada orang lain. Alhasil adalah hadirnya hati yang selamat dan tenang (qolbun salimun wa muthmainnun) yang akan meng-handle segala perbuatan manusia, sehalus dan sekecil apapun, baik yang dhohir maupun yang bathin.

Bila kita memiliki hati yang seperti ini, maka insya Allah hidup kita akan sehat; sehat secara rohaniyah dan jasmaniyah.

Amin ya rabbal ‘alamin.

Stabilitas Iman Seseorang

IMAN YANG BERTAMBAH DAN BERKURANG


Manusia diciptakan berbeda dari binatang. Ada kesamaan memang. Bila manusia memiliki telinga, mata, hidung, kaki dan lainnya, demikian pula dengan binatang. Kelebihan manusia atas binatang adalah, bahwa manusia dilengkapi software canggih yang ter-install pada otak manusia. Dengan otak yang begitu lembut dan berkapasitas amat besar, manusia mampu men-save dalam memory-nya berbagai tipe data yang sangat beragaman dan complicated. Manusia bisa berhitung, membaca, menghafal nama orang, nama jalan, nama kota, juga mampu menyerap data kasus untuk kemudian diolah dan dicarikan solusinya. Di otak inilah, koordinasi organ tubuh dikendalikan.

Selain otak, manusia juga dilengkapi dengan hati/jantung (qolbun) yang berfungsi sebagai pengendali seluruh aktivitas manusia berupa perasaan, pikiran dan perbuatan .Qolbun adalah segumpal darah yang ada dalam tubuh manusia, yang oleh Nabi Muhammad SAW dikatakan:”.. bila hati itu baik maka baik pula seluruh amal, dan apabila hati rusak, rusak pula seluruh amalnya.”

Ketika hati itu baik maka hakekatnya hati itu adalah hati yang selamat (qolbun salim), dituntun oleh cahaya Allah yang senantiasa menuju pada jalan yang lurus dan hanif. Hati yang akan mengendalikan seluruh aqwal dan af’al untuk senantiasa memenuhi panggilan kebenaran, yaitu dinul Islam.

Hidupnya akan diliputi oleh kejujuran dan ketenangan, tidak korup kepada manusia maupun Allah.Orang-orang seperti ini adalah mereka yang menjadi kekasih Allah (auliyaullah), yang mentransformasikan dirinya dalam bimbingan Allah dari kegelapan-kegelapan (adl-dlulumat) menuju cahaya kebenaran (nur-alhaq) Namun, manakala di dalam tubuh manusia bercokol gumpalan darah yang keras dan sakit (qolbun maridh), maka bentuk aktualisasi eksternal akan rusak dan sesat lagi menyesatkan. Getar hatinya, perasaan, pikiran dan perbuatannya penuh dengan selubung kedustaan (alkidzb)dan kesombongan (alkibru). Hati seperti ini akan selalu menolak kebenaran dari Allah dan meremahkan manusia lain. Merekalah kekasih-kekasih thoghut yang mengajak mereka dari kebenaran menuju kesesatan (kegelapan) (al-Baqoroh:257)

Wal’iyadzu billah.

Sebagai hamba Allah kita senantiasa memohon pada-Nya agar hati kita dikokohkan di atas dien-Nya, mulazamah dalam keimanan dan mudawamah (kontinuitas) dalam beramal baik. Kata Nabi: “Iman itu bisa mengalami pasang naik dan pasang surut.” Iman adalah suatu kondisi yang terus dinamis dan berayun mengikuti kecenderungan kebaikan dan keburukan amal. Dan manusia oleh Allah sudah dibekali dalam dirinya dua potensi yang terus berseteru dan bersifat paradox; kecintaan pada ketaqwa-an dan kecintaan pada kefujur-an.

Kata Nabi lagi:”Iman akan naik dan bertambah bila terus dipupuk dengan ibadah, dan akan mengalami degradasi manakala dihiasi dengan kemaksiatan”. Ibadah adalah paduan antara ikhlas, tawadlu, amal dan ittiba’. Sedang maksiat adalah sebaliknya. Tidaklah dikatakan sebagai amal shalih bila sekedar ittiba’ (mutaba’ah arrosul) tapi tidak ikhlas. Atau hanya bermodalkan ikhlash tapi tidak mau mengikuti tuntunan Rasul.

Untuk itu marilah kita senantiasa berdoa;”Ya Allah, jadikanlah hati kami untuk senantiasa cinta pada keimanan dan hiaskanlah iman pada hati kami. Dan jadikanlah hati kami senantiasa benci pada kekufuran, fusuk dan maksiat, dan jadikanlah kami termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Nas ’alullah as-salaamah.

4 Types of Human

FOUR TYPES OF HUMAN
By: Abu Farros

In everyday life we can not escape from the need to establish relationships with other people. Since this is the basic character possessed by humans since birth until death. Even humans will find themselves not perfect when he was not able to communicate and interact with others. Man is homo socius, meaning bound and need good people who are personal relationships (face to face relationship)-‘paguyuban’ (Javanese) and impersonal relationship (using media). Both in society as a characteristic of the community are personal relationships that are developed in rural areas, as well as ‘patembayan’ where relationships are built on the basis of interest and division of work (division of labor).

Relationships created by each individual feels himself less so involved himself with others become a necessity. Any rich people with many wealth and glory, when his body riddled by disease, then he will need help of a doctor. A doctor who suddenly strike a new car in the middle of the road, so he needs the help of a mechanic. A farmer with extensive land will require a laborer working on the fields until the harvest season. Luxury housing, shopping centers and hospitals will need the presence of manual labor to clean up trash scattered. Even when people die though, she still needs someone else to care for him. The point is that human life in this world is absolute interdependence (mutual need and dependent). In the Islamic perspective is called 'ta'awun'.

In the interaction in life, we'll see a variety of human types, which differ from each other in customs, habits, language, and religion. One type of human character that became influential in the formation of an attitude, the role and status (role and status), is related to knowledge. Knowledge in a broad sense, which includes personal attitudes that reflect how far he could face the problem and how to put his position in the crowd (role playing). Similarly, someone in the extent of religious maturity which includes the science of religion and religious behavior (attitudes, ways of thinking and deeds).
Al-Khalil bin Ahmad, as quoted by al-Imam al-Mawardi in his book "Dunya wad Adabud Dien" says, that humans are divided into four categories:

1. People who understand the (smart) and he knew if he understands (smart), he is a pious person, then ask him. Fortunately for us when meeting with people who have this type, because in addition to himself was a pious and charitable kindness experts, as well as a place for us to sit on the science of religion. When he was an architect, then for us to ask about everything that relates to architecture. If he is a master of agriculture is for us to ask him about how to cultivate good farming.

2. People who understand the (smart) and (but) he did not know if he understands (smart), he is a man who was forgotten, then remind him. So could be in everyday life, we become, or meet with people like this. Some people are actually very clear about something, but he did not realize that he is intelligent and controlled so that the science does not provide benefit for himself and the others, the essence of this person should be reminded, 'excited' to its potential can be useful. Or intelligent people in religious matters, but he did not want to remove it or a time to break the rules of religion, then he was mired in a wallow negligence, then It is also to be reminded and corrected in order to go back to the mainstream religion. It may be that we are people who often fall into this category. So ... .. it was obvious that we should more often to be reminded, and do not be offended if reminded by others, whoever that person.
3. People who do not understand (stupid) and he knew if he did not understand (stupid), he is a man who was looking for guidance (knowledge), then give him a hint or teach him science. Fortunately for people like this, though stupid but passion for achieving high science. He was a 'real students', or people with any condition and status have the spirit to learn and find out for himself to escape from the idiocy and darkness to the brightness of life and intelligence.

4. People who do not understand (dumb) but he did not want to know if he did not understand (dumb), he is a ignorant (fool), then stay away and never once approached him. Not a few in society, we find people who have this type. They’re stupid, but doesn’t not want to learn to be free from ignorance. They’re stupid but always close eyes, ears and heart of goodness and truth invitation religion, the essence of these people are stupid and moronic. Advice from other people and science taught by people considered him just then the wind and words of no use. The potential in him is not sharpened, his heart was not guided by the truth of Islam that Allah SWT had their convictions like animals. Position even more misguided and despicable than animals !!!!. People like this, his heart enveloped by a crust of pride that always reject the truth (alhaq) and underestimate others.
Do not pay are friends and friends with him. Because only the losses that would be obtained when we were friends with him. Leave and do not ever be friends!!
Finally, let us introspect ourselves: in the categories where we are? Do not let us go in the fourth type of people, because only live losses and stupidity that will be obtained. Hopefully this article is useful.

Wabillahittaufieq walmusta'an.


Rabu, 03 Maret 2010

Market and Life-Style

MARKET AND LIFE-STYLE
A. Farrosy

MARKET GLOBALIZATION
Globalization as a phenomenon experienced by the entire nation has resulted in many changes in all aspects of life: social, economic, political and cultural. Era of globalization described as an era where the world is no longer limited by space and time, because it has been integrated by a global system (global system). By using the all-powerful communication, human interaction built so successfully and easily so that the relationships become impersonal.
The world had folded into the Global Village. People no longer have to meet face to face in meeting their needs, but by using communication tools, he can discuss and express their passion and desire (desire and wants).


In this context we may be legitimate to question how far the effectiveness of technological advances that marked the era of globalization, especially in the economic field. And how globalization in the economic field are able to create a culture of consumption (consumption culture). Two issues will be discussed in the following text.


The development of a nation can not be separated from economic growth in it. This is important for economic growth (economic growth) is often a measure of the prosperity of a nation. Economic actions undertaken by people not be separated from culture, motivation and values. Even religion is often the determinant factors that determine the pattern of economic action. Therefore, Max Weber, after doing in-depth study of Protestant Christianity in relation to the economy, he concluded that the teaching of the Protestant sect of Calvinists have a role in encouraging the creation of community. This is what inspired him to write a book entitled "The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism".


Talking about economic action can not be removed from the calculation of profit (profit calculation), which embeded in trade or economic practices.
There are two common patterns of actions carried out by economic actors. The first, is the action that is subsistence economy. In this pattern only person able to meet the need of life (survive), is communal and not profit oriented. The second, is the act of a market-oriented economy, (market oriented) that is characterized by a tendency to market expansion, profite oriented, capital accumulation, and individuals are rational.

MARKET EXPANSION
Market is the most important institutions in economic activity. It’s able to move the market dynamics of economic life in which the bargaining process, both directly and not to determine the price of certain (fixed cost). As the meeting of buyers and sellers, the market can play its function as price controls, so that prices do not fluctuate sharply. This price stability is actually of benefit to the economic actors.


With the advance of society in various fields, the market had also experienced a shift in both the functions and operations (mode of operation). In the traditional sense, the market interpreted as a buy-sell more characterized as economic activity daily (daily-economic activity). However, this function has undergone expansion, in an era where the market today also serves as a center of recreation and leisure. The visitors who come not merely to shop, but many are looking for entertainment and eliminate stes.


This very common phenomenon we see in many big cities like Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Medan and other cities. The market has been transformed into shopping centers, malls, super market, departmental stores, mega stores and others. The visitors who come to shop but also aims to enjoy a relaxed atmosphere with family, or just want to know the price of goods, even many who aims to have pleasure espesially for young people (mejeng: Indonesia). Seeing this trend are many shopping centers and offers a variety of entertainment products for children and a café as a place to relax.


Transaction model also experienced a shift, where between the seller and the buyer does not have to meet in person, but they are able to do it in a long distance by using services such as telephone technology.
Even now developed a model of transactions via internet, which is very possible for economic actors to make transactions quickly. This is what came to be called as a virtual marketplace (virtual market). In the theory of neo-classical economics, the way buying and selling goods via the internet is an effective system, fast and productive, because transaction costs would be reduced and relatively cheaper.


LIFE - STYLE
In the expansion, the producers must look sharply market needs. Market needs (consumer) is strongly influenced by the culture and values . In economic practice, the more astute producers in the desire to fool the market, by creating image and taste that consumers are interested and want to buy goods production.
This condition created through engineering as the market wants more patterned ways of thinking and lifestyle of consumers. Concrete example: a male and a beautiful image has been so wonderful being manipulated by the producers by way of offering certain products (such as cigarettes, special medicine men, cosmetics, and drugs for women) through media advertising. As Andre Warnich that in an increasingly capitalistic society, which penetrated into the commodities sectors that life never before imagined, cultural promotion (promotion culture) is something that can not be ruled out.


The most important agent of culture is a mass media campaign, print and electronic, especially through the advertisement or advertisements. Ads serve as a media interaction mediates between producers and consumers. With all advertising, marketing groups interpret and socialize commodities to the value of a commodity and project it into the global market. That's why advertising is an important part for marketing and strategic commodities.


We see that the market mechanism run by the producers able through the media that is easily accessible by consumers. Television is the most effective media to promote a product to prospective buyers. Impressions of repeated commercials featuring well-known public figure who is expected to stimulate the emotions the audience or prospective purchasers to buy it. Here, there is hope of creating a symbolic interaction as potential buyers try to translate the symbols or messages offered by advertising stars, and then he tried to "become" like a star idolized ads. In these circumstances, buyers (consumers) as if hypnotized, and no more intelligent in choosing the quality of goods and measures of purchasing power.


Moreover, with changing lifestyles, has encouraged more manufacturers to promote their products more intensively through various media to provide various facilities such as security guarantees, payment system using credit card, providing an attractive bonuses, payments systems and other security easier. As a result many consumers who buy goods not solely driven by the need (need), but simply to satisfy the desire (desire) to elevate the status.


Here it is clear that consumer demand for goods no longer are natural-as the fulfillment of needs that had to be there, but had shifted to the construction of cultural (culturally constructed) are engineered by the market (producer)
Finally, by using the three characters presented by Feather-stone, it can be understood that the offer of pleassure dreams and status yang tinggi (high status), has successfully led consumers to spend money and time (money westing
and time) to fulfill his lifestyle . And this phenomenon can be read by the producers.

Islam dan Politik di Indonesia

ISLAM DAN POLITIK DI INDONESIA

PENDAHULUAN

Berbicara tentang Indonesia adalah berbicara tentang Islam di Indonesia. Ini adalah karena alasan statistik, demografis dan sosiologis. Umat Islam adalah mayoritas di Indonesia. Karena itu menurut Nurcholish Madjid, setiap visi tentang Indonesia pada dasarnya adalah visi tentang Islam Indonesia (Madjid, 1999: XV). Termasuk dalam bidang politik, maka pembicaraan tidak bisa lari dari kontek keislaman di Indonesia, karena umat Islam adalah entitas bangsa yang penting dalam proses demokratisasi politik.

Secara tegas Nurcholish menguraikan bahwa berbicara tentang Islam dan politik selalu menarik perhatian karena kenyataan adanya hubungan yang sangat erat antara keduanya dalam sejarah. Semenjak hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Yatsrib, yang kemudian diganti namanya dngan Madinah, agenda-agenda politik telah diletakkan, sejak itu di samping sebagai utusan Allah juga sebagai kepala Negara yang mengatur masyarakat yang plural (Madjid, 19954: 187).


HUBUNGAN ISLAM DAN POLITIK

Teori modenisasi menjelaskan, bahwa perkembangan suatu bangsa dalam rangka mencapai modern and industrial society, harus menggunakan paradigma positivistic yang ditandai dengan tumbuhnya budaya materialisme, kalkulatif dan effectiveness. Masyarakat ini menurut Weber, berada pada pengagungan pada sains yang telah berhasil melewati tahap mitos dan religion. Sehingga teori modernisasi merekomendasikan bahwa agama dan pembangunan adalah incompatible. Dalam pembangunan politikpun agama dianggap tidak layak lagi untuk dilibatkan. Inilah yang menurut Peter L. Berger seperti dikutip oleh Kuntowijiyo (1997:174) dan disebut sebagai sekulerisme obyektif di mana praktek kenegaraan dipisahkan dari agama secara ekstrim.
Bagaimana dengan Islam ?

Secara teologis, agama adalah ajaran yang didasarkan pada wahyu, produk Tuhan yang bersifat sakral, transcendental (theo-centris) Sementara politik adalah praktek kemanusiaan yang keberadaannya adalah produk manusia dan bersifat profane (anthropo-centris).
Secara sosiologis agama akan dapat teraktualisasi bilaman telah diejawantahkan dalam bentuk aksi social (social action), karena memang salah satu fungsi dari agama adalah menjadi ‘guidance’ bagi manusia di muka buni. Pemahaman spirit inilah yang dianut oleh Islam, di mana ajaran-ajarannya mengatur masalah ekonomi, social, budaya, politik dll. Dalam pengertian ini Collins (1986:7) berkata :Religion is really economics, politics is really religion and economis is really politics”.

Dalam dunia Islam ada tiga aliran dalam melihat hubungan antara agama dan politik. Pertama, Islam bukanlah semata-mata dalam pengertian barat, yakni hanya menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan belaka, tapi Islam adalah agama yang sempurna dan mengatur semua aspek kehidupan manuisa, termasuk didalamnya adalah politik. Kedua, Islam sama sekali tidak mengatur urusan politik, karena hanya mengatur masalah keagamaan. Ketiga, berbeda dengan pendapat pertama,Islam mengatur politik secara implicit, karena dalan Al-Qur’an maupun Hadits tidak ditemukan dalil qoth’I (eksplisit) yang berbicara masalah itu. (Basyir, 1996:23-25).
Dari tiga aliran di atas, penulis cenderung untuk berpendapat bahwa pemikiran pertama dan ketiga itulah yang bisa dijadikan landasan teologis bagi pendirian partai-partai untuk memperjuangkan kepentingan Islam termasuk di Indonesia. Politik ideal yang tumbuh subur di Indonesia juga dipengaruhi oleh”political stereotype” yang dibangun oleh Muhammad SAW di Madinah yang berisi kesepakatan atas pluralitas masyarakat Madinah.

Dalam kasus ini yang sering menjadi referen pentingnya pembentukan masyarakat madani (civil society) para pemikir Islam berbeda pendapat bahwa ini adalah “ideal type” masyarakat Islam. Sebagaian setuju namun sebagian menolak. Kelompok terakhir berargumentasi bahwa dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits tidak ada perintah pentingnya pendirian Negara Islam (Islamic State). Namun yang urgen adalah terbentuknya masyarakat yang teratur, egaliter, demokratis dan menghormati ha-hak asasi manusia.

Ibnu Taimiyah, seorang ulama terkenal yang sering menjadi rujukan dalam persoalan politik, menolak adanya konsep Negara Islam. Dia berkata”….pengertian Negara Islam di sini tidak harus secara de facto berdirinya Negara dengan atribut Islam, melainkan Negara yang tunduk pada konsitusi umum yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Ia menghendaki system pemerintahan yang menekankan pada asas konstitusi, kooperasi dan hubungan perjanjian melalui kontrak social (Basyir, 1996:97).

Selanjutnya Amien Rais (1987:46) secara tegas menguraikan tiga prinsip demokrasi dalam Islam. Pertama; system pemerintahan harus ditegakkan atas dasar prinsip keadilan (al-‘adalah) dalam arti seluas luasnya bagi seluruh warga dalam bidang hukum, social dan ekonomi. Kedua, system politik harus didasarkan pada prinsip syura dan musyawarah. Prinsip ini menentrang elitisme, membuka partisipasi warga dalam proses pengambilan keputusan (decision making), dan menutup kemungkinan terjadinya penyelewengan Negara ke arah otoritarianisme, despotisme, diktatorisme dan system lain yang membunuh hak-hak rakyat. Ketiga, prinsip persaudaraan (ukhuwwah) dan kesetaraaan (equality, musawah). Politik Islam tidak membeda-bedakan orang atas dasar perbedaan gender, etnis, warna kulit, latar belakang sejarah, ekonomi dan social. Islam mengajarkan pentingnya hidup berdampingan secara damai dengan non-muslim.

Memperhatikan ajaran substantive dalam Islam tentang politik, Nurcholish optimis bahwa secara prinsip Islam memiliki potensi lebih banyak untuk mendukung demokrasi dari pada Kristen, sebab dalam Islam tidak mengenal system kependetaan.Terdapat banyak indikasi bahwa pemikiran Islam pro-demokrasi cukup kuat dan relevan berkembang, utamanya di Indonesia kontemporer. “Jauh dari menjadi ancaman bagi demokrasi, Islam malah dapat menjadi factor kuat alam mendukungnya” (Uhlin, 1998:80).

ORIENTASI POLITIK ISLAM

“Indonesia bukan Negara sekuler, bukan pula Negara agama”. Statemen tersebut sangat simple , namun punya implikasi luas terhadap perilaku bangsa dalam segala aspek kehidupan. “Grand Narrative” ini belakangan mulai dipertanyakan kebsahannya karena muncul asumsi kuat bahwa sebetulnya Indonesia adalah “Negara sekuler yang malu-malu”.
Ada konsep alternatif sebagai ganti grand narrative di atas yaitu konsep “Indonesia bukan Negara sekuler, tapi Negara yang didasarkan pada spirit dan moralitas agama”. Nilai universal dari agama-agama dijadikan landasan bagi system kenegaraan, sehingga keduanya adalah suatu entitas yang padu dan saling mengisi.

Di Negara-negara timur tengah dengan agama yang relatif homogen, persoalan hubungan antar agama dan politik jarang atau bahkan tidak pernah muncul ke permukaan. Ini berbeda dengan Negara-negara yang relative heterogen dalam persoalan agama. Alford (1997:101) berkata”connection between religion and politics arises as problem in nations which are not religiously homogenous”.
Islam adalah rahmatan lil’alamin. Itulah konsep yang sering digunakan oleh kalangan Islam, yang berarti bahwa Islam sebagai agama yang menebarkan rahmat, perlindungan dan pengayoman bagi seluruh manusia. Implementasi politik pun dipandu dan dikelilingi oleh atmosfer kerahmatan, betapapun bila suatu saat Islam (muslim) menjadi pengendali kekuasaan, rahmat harus tetap terwujud. Konsep ini bukanlah utopia, namun bersifat aplikatif.

Penulis punya asumsi bahwa berdirinya banyak partai Islama tidaklah dimaksudkan sebagai kerja besar untuk mendirikan Negara Islam (Islamic state), tapi terbentuknya masyarakat Islam dengan alasan: pertama, bahwa keberadaan partai Islam lebih menekankan pada terwujudnya masyarakat madani yang di dalamnya terkandung nilai-nilai universal seperti demokrasi, keadilan (justice), kesetaraan (equality) dan kebebasan (freedom) tanpa mengganggu individu atau kelompok lain. Kedua, berkembangnya wacana pemikiran Islam transformis yang mengendapkan nilai transcendental Islam yang memiliki kekuatan moral sebagai control atas praktek atas otoritarianisme, diktatorisme, korupsi, manipulasi agama sebagai legitimasi politik. Ketiga, inklusivisme politik Islam yang menolak penggunaan symbol-simbol, namun sebaliknya menekankan pada pemahaman makna substansif agama. Sehingga munculnya banyak partai yang berasaskan agama ataupun yang memiliki konstituen mayoritas muslim bukanlah suatu ancaman terhadap integrasi bangsa tapi justru merupakan langkah akomodatif terhadap pluralitas bangsa sepanjang masih dalam koridor demokrasi. Terakomodasinya political interest yang berbeda, serta terciptanya perimbangan kekuatan (balance of power) antar partai yang memiliki ideology yang berbeda. Dengan demikian bukan penyembunyian “bara” konflik yang hanya akan memunculkan “pseudo- integration”. Tapi sikap toleran, egaliter dan demokratis dari semua pihak yang dikedepankan. Semoga demikian.
Wallahu a’lam

Islam dan Politik di Indonesia

ISLAM DAN POLITIK DI INDONESIA

PENDAHULUAN
Berbicara tentang Indonesia adalah berbicara tentang Islam di Indonesia. Ini adalah karena alasan statistik, demografis dan sosiologis. Umat Islam adalah mayoritas di Indonesia. Karena itu menurut Nurcholish Madjid, setiap visi tentang Indonesia pada dasarnya adalah visi tentang Islam Indonesia (Madjid, 1999: XV). Termasuk dalam bidang politik, maka pembicaraan tidak bisa lari dari kontek keislaman di Indonesia, karena umat Islam adalah entitas bangsa yang penting dalam proses demokratisasi politik.
Secara tegas Nurcholish menguraikan bahwa berbicara tentang Islam dan politik selalu menarik perhatian karena kenyataan adanya hubungan yang sangat erat antara keduanya dalam sejarah. Semenjak hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Yatsrib, yang kemudian diganti namanya dngan Madinah, agenda-agenda politik telah diletakkan, sejak itu di samping sebagai utusan Allah juga sebagai kepala Negara yang mengatur masyarakat yang plural (Madjid, 19954: 187).


HUBUNGAN ISLAM DAN POLITIK
Teori modenisasi menjelaskan, bahwa perkembangan suatu bangsa dalam rangka mencapai modern and industrial society, harus menggunakan paradigma positivistic yang ditandai dengan tumbuhnya budaya materialisme, kalkulatif dan effectiveness. Masyarakat ini menurut Weber, berada pada pengagungan pada sains yang telah berhasil melewati tahap mitos dan religion. Sehingga teori modernisasi merekomendasikan bahwa agama dan pembangunan adalah incompatible. Dalam pembangunan politikpun agama dianggap tidak layak lagi untuk dilibatkan. Inilah yang menurut Peter L. Berger seperti dikutip oleh Kuntowijiyo (1997:174) dan disebut sebagai sekulerisme obyektif di mana praktek kenegaraan dipisahkan dari agama secara ekstrim.
Bagaimana dengan Islam ?
Secara teologis, agama adalah ajaran yang didasarkan pada wahyu, produk Tuhan yang bersifat sakral, transcendental (theo-centris) Sementara politik adalah praktek kemanusiaan yang keberadaannya adalah produk manusia dan bersifat profane (anthropo-centris).
Secara sosiologis agama akan dapat teraktualisasi bilaman telah diejawantahkan dalam bentuk aksi social (social action), karena memang salah satu fungsi dari agama adalah menjadi ‘guidance’ bagi manusia di muka buni. Pemahaman spirit inilah yang dianut oleh Islam, di mana ajaran-ajarannya mengatur masalah ekonomi, social, budaya, politik dll. Dalam pengertian ini Collins (1986:7) berkata :Religion is really economics, politics is really religion and economis is really politics”.
Dalam dunia Islam ada tiga aliran dalam melihat hubungan antara agama dan politik. Pertama, Islam bukanlah semata-mata dalam pengertian barat, yakni hanya menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan belaka, tapi Islam adalah agama yang sempurna dan mengatur semua aspek kehidupan manuisa, termasuk didalamnya adalah politik. Kedua, Islam sama sekali tidak mengatur urusan politik, karena hanya mengatur masalah keagamaan. Ketiga, berbeda dengan pendapat pertama,Islam mengatur politik secara implicit, karena dalan Al-Qur’an maupun Hadits tidak ditemukan dalil qoth’I (eksplisit) yang berbicara masalah itu. (Basyir, 1996:23-25).
Dari tiga aliran di atas, penulis cenderung untuk berpendapat bahwa pemikiran pertama dan ketiga itulah yang bisa dijadikan landasan teologis bagi pendirian partai-partai untuk memperjuangkan kepentingan Islam termasuk di Indonesia. Politik ideal yang tumbuh subur di Indonesia juga dipengaruhi oleh”political stereotype” yang dibangun oleh Muhammad SAW di Madinah yang berisi kesepakatan atas pluralitas masyarakat Madinah.
Dalam kasus ini yang sering menjadi referen pentingnya pembentukan masyarakat madani (civil society) para pemikir Islam berbeda pendapat bahwa ini adalah “ideal type” masyarakat Islam. Sebagaian setuju namun sebagian menolak. Kelompok terakhir berargumentasi bahwa dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits tidak ada perintah pentingnya pendirian Negara Islam (Islamic State). Namun yang urgen adalah terbentuknya masyarakat yang teratur, egaliter, demokratis dan menghormati ha-hak asasi manusia.
Ibnu Taimiyah, seorang ulama terkenal yang sering menjadi rujukan dalam persoalan politik, menolak adanya konsep Negara Islam. Dia berkata”….pengertian Negara Islam di sini tidak harus secara de facto berdirinya Negara dengan atribut Islam, melainkan Negara yang tunduk pada konsitusi umum yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Ia menghendaki system pemerintahan yang menekankan pada asas konstitusi, kooperasi dan hubungan perjanjian melalui kontrak social (Basyir, 1996:97).
Selanjutnya Amien Rais (1987:46) secara tegas menguraikan tiga prinsip demokrasi dalam Islam. Pertama; system pemerintahan harus ditegakkan atas dasar prinsip keadilan (al-‘adalah) dalam arti seluas luasnya bagi seluruh warga dalam bidang hukum, social dan ekonomi. Kedua, system politik harus didasarkan pada prinsip syura dan musyawarah. Prinsip ini menentrang elitisme, membuka partisipasi warga dalam proses pengambilan keputusan (decision making), dan menutup kemungkinan terjadinya penyelewengan Negara ke arah otoritarianisme, despotisme, diktatorisme dan system lain yang membunuh hak-hak rakyat. Ketiga, prinsip persaudaraan (ukhuwwah) dan kesetaraaan (equality, musawah). Politik Islam tidak membeda-bedakan orang atas dasar perbedaan gender, etnis, warna kulit, latar belakang sejarah, ekonomi dan social. Islam mengajarkan pentingnya hidup berdampingan secara damai dengan non-muslim.
Memperhatikan ajaran substantive dalam Islam tentang politik, Nurcholish optimis bahwa secara prinsip Islam memiliki potensi lebih banyak untuk mendukung demokrasi dari pada Kristen, sebab dalam Islam tidak mengenal system kependetaan.Terdapat banyak indikasi bahwa pemikiran Islam pro-demokrasi cukup kuat dan relevan berkembang, utamanya di Indonesia kontemporer. “Jauh dari menjadi ancaman bagi demokrasi, Islam malah dapat menjadi factor kuat alam mendukungnya” (Uhlin, 1998:80).
ORIENTASI POLITIK ISLAM
“Indonesia bukan Negara sekuler, bukan pula Negara agama”. Statemen tersebut sangat simple , namun punya implikasi luas terhadap perilaku bangsa dalam segala aspek kehidupan. “Grand Narrative” ini belakangan mulai dipertanyakan kebsahannya karena muncul asumsi kuat bahwa sebetulnya Indonesia adalah “Negara sekuler yang malu-malu”.
Ada konsep alternatif sebagai ganti grand narrative di atas yaitu konsep “Indonesia bukan Negara sekuler, tapi Negara yang didasarkan pada spirit dan moralitas agama”. Nilai universal dari agama-agama dijadikan landasan bagi system kenegaraan, sehingga keduanya adalah suatu entitas yang padu dan saling mengisi.
Di Negara-negara timur tengah dengan agama yang relatif homogen, persoalan hubungan antar agama dan politik jarang atau bahkan tidak pernah muncul ke permukaan. Ini berbeda dengan Negara-negara yang relative heterogen dalam persoalan agama. Alford (1997:101) berkata”connection between religion and politics arises as problem in nations which are not religiously homogenous”.
Islam adalah rahmatan lil’alamin. Itulah konsep yang sering digunakan oleh kalangan Islam, yang berarti bahwa Islam sebagai agama yang menebarkan rahmat, perlindungan dan pengayoman bagi seluruh manusia. Implementasi politik pun dipandu dan dikelilingi oleh atmosfer kerahmatan, betapapun bila suatu saat Islam (muslim) menjadi pengendali kekuasaan, rahmat harus tetap terwujud. Konsep ini bukanlah utopia, namun bersifat aplikatif.
Penulis punya asumsi bahwa berdirinya banyak partai Islama tidaklah dimaksudkan sebagai kerja besar untuk mendirikan Negara Islam (Islamic state), tapi terbentuknya masyarakat Islam dengan alasan: pertama, bahwa keberadaan partai Islam lebih menekankan pada terwujudnya masyarakat madani yang di dalamnya terkandung nilai-nilai universal seperti demokrasi, keadilan (justice), kesetaraan (equality) dan kebebasan (freedom) tanpa mengganggu individu atau kelompok lain. Kedua, berkembangnya wacana pemikiran Islam transformis yang mengendapkan nilai transcendental Islam yang memiliki kekuatan moral sebagai control atas praktek atas otoritarianisme, diktatorisme, korupsi, manipulasi agama sebagai legitimasi politik. Ketiga, inklusivisme politik Islam yang menolak penggunaan symbol-simbol, namun sebaliknya menekankan pada pemahaman makna substansif agama. Sehingga munculnya banyak partai yang berasaskan agama ataupun yang memiliki konstituen mayoritas muslim bukanlah suatu ancaman terhadap integrasi bangsa tapi justru merupakan langkah akomodatif terhadap pluralitas bangsa sepanjang masih dalam koridor demokrasi. Terakomodasinya political interest yang berbeda, serta terciptanya perimbangan kekuatan (balance of power) antar partai yang memiliki ideology yang berbeda. Dengan demikian bukan penyembunyian “bara” konflik yang hanya akan memunculkan “pseudo- integration”. Tapi sikap toleran, egaliter dan demokratis dari semua pihak yang dikedepankan. Semoga demikian.
Wallahu a’lam

Teologi dan Etos Kerja

TEOLOGI : Motivasi dan Etos Kerja

Berkaitan dengan etos kerja (progress, modernisasi) sengaja di sini penulis membatasi dua teologi besar dalam Islam yaitu : Asy’ariyah dan Mu’tazilah. Mu’tazilah sebagai sebuah teologi yang sangat mengagungkan akal dan punya tradisi berpikir liberal, sudah barang tentu mengambil paham Qadariyah. Pernah berjaya pada masa khalifah Abbasiyah (813-833 M), ketika diakui sebagai teologi resmi yang harus dianut oleh seluruh umat Islam. Namun dalam perjalanannya, teologi ini banyak mendapat perlawanan, salah satunya adalah dari seorang ulama kenamaan yaitu Muhammad ibn Hambal yang belakangan mendirikan Madzhab Hambali, sebuah madzhab resmi di Arab Saudi.

Perlawanan ini kemudian dilanjutkan oleh Abu al-Hasan Al-Asy’ari (935 M) dengan mengambil bentuk teologi tradisional yang cenderung Jabariyah, yang akhirnya melahirkan Teologi Asy’ariyah yang berkeyakinan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan oleh Tuhan. Pada masa Khalifah Al-Mutawakkil, pamor Mu’tazilah mulai redup dan sejak itu umat Islam hanya mengenal teologi Asy’ariyah yang identik dengan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah.

Bagi umat Islam Indonesia, teologi ini bukan sesuatu yang asing karena memang paham ini secara radikal diajarkan oleh Imam Al-Ghazali yang terkenal dengan kitab Al-Ihya Ulumuddin yang dijadikan kajian wajib di banyak pesantren. Teologi ini mengajarkan doktrin takdir. Menurut Al-Ghazali, kebahagiaan hakiki bukanlah kepuasan materi tapi adalah kepuasan batin dengan cara menjauhi gemerlapnya dunia. Barangkali inilah yang dimaksud oleh Weber sebagai askesme mistik!

Dalam pandangan Fazlur Rahman, ajaran etika Al-Ghazali telah begitu dalam mengurat nadi dalam tubuh umat Islam seantero dunia , dan punya peran dalam proses penumpulan kreatifitas , etos keilmuan dan etos kerja secara simultan dan massif. Paling tidak manusia tidak lagi ‘otonom’ di hadapan Sang Khaliq. Setiap keputusan dan amalan selalu dikonsultasikan dulu pada sang Kyai atau Syaikh. Sikap tidak mandiri seorang hamba di hadapan Tuhan ini, ada kemiripan dengan praktek di kalangan Katolik Roma, di mana pengikut Katolik menjadikan para pendeta sebagai perantara. Sikap seperti ini, menurut Weber, tidak memberi peluang bagi munculnya askesme dunia.

Penting untuk digaris–bawahi bahwa Islam berbeda dari Katolik. Bisa jadi benar kata Fazlur Rahman bahwa karena begitu besarnya dominasi dan hegemoni guru spiritual itu, sehingga praktek sufisme dan mistik menjadi benar-benar berbentuk pemujaan pada orang yang dianggap suci (the cult of saint) (Amin Abdullah, 1995:135). Sekte yang seperti inilah yang oleh Weber diklaim sebagai sekte yang skeptis dan tidak memiliki asketisisme dunia seperti yang ada dalam Katolik.

Al-Ghazali membatasi pengertian akhlak (etik) sebatas pendidikan batin dan penanaman ajaran yang bersifat normative, kurang menekankan pada aspek intelek dan kurang melatih akal pikiran untuk bertindak aktif, kreatif dan dinamis. Sifat kreatif, aktif, dinamis dan inisiatif, etos ilmu dan etos kerja sangat berkaitan dengan pedidikan intelek. Jika memang begitu, maka asumsi dasar bahwa pemikiran Al-Ghazali dengan teologi Asy’ariyah ada kaitannya dengan lemahnya etos ilmu dan etos kerja, termasuk di Indonesia --- meskipun tidak mutlak--- mengandung nilai kebenaran (ibid, 1995: 138).

Secara kebetulan polemik antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah dimenangkan oleh Asy’ariyah dengan segala implikasinya, di mana umat Islam buta dan tidak mengenal doktrin selainnya. Akibat paling fatal adalah tumbuhnya fanatisme berlebihan pada Asy’ariyah dan alergi terhadap Mu’tazilah. Barangkali saja, kalau Mu’tazilah yang menang, maka sejarah Islam akan berbeda dari sekarang: bisa lebih baik, atau bahkan sebaliknya, lebih buruk.

Pengandaian apapun yang diajukan, sejarah telah membuktikan bahwa kondisi umat Islam memang tertinggal dari Barat. Pertanyaannya adalah:”Adakah yang salah dalam tubuh umat Islam?” Pantaslah untuk dikaji kembali kata-kata Albert Harouni bahwa : ”umat Islam lemah karena mereka bukan benar-benar muslim”. Dengan kata lain, mereka tidak lagi memahami dan menghayati nilai-nilai Islam dalam kehidupan, mereka telah meninggalkan tradisi intelektual yang telah diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW, sebaliknya lebih percaya pada mistik serta gemar memasukkan unsur-unsur luar yang bertentangan dengan Islam murni. Oleh karena itu pintu ijtihad harus tetap dibuka dengan tetap bersumber pada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dalam hal ini Muhammad Iqbal, seorang pemikir Pakistan mengatakan : “Ijtihad is the principle of movement”. Selain itu, sifat Islam yang universal, egaliter serta anjuran untuk hidup optimis dan disiplin, secara tegas membuktikan bahwa Islam sangat relevan dengan askesme duniawi seperti yang dikonsepsikan oleh Weber, meskipun ini berbeda dengan temuan Weber.

Penulis berpendapat bahwa konsep Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme sebagai sebuah “ideal type”- meskipun awalnya ditemukan di dalam sekte Calvinisme- juga berkembang di agama-agama lain, seperti Yahudi, Tokugawa dan Islam. Berkait dengan Islam, yang diperlukan adalah pemahaman keagamaan (religious understanding) yang tidak magis, mistis, pengagungan pada individu (individual cult), dengan tetap dibukanya pintu ijtihad (bab al-ijtihad) dan penempatan akal secara proporsioanal, yang tetap merujuk pada dua pilar Islam (ar-ruju’ ila-al-Qur’an wa al-sunnah).

Lalu apakah dengan pemahaman dan penghayatan terhadap Islam secara benar serta semangat ijtihad, umat Islam punya prospek untuk maju? Dan apakah Islam relevan bagi kehidupan moderen? Jawabnya, tidak sedikit pemikir muslim dan orientalis yang bersikap optimistik, yang salah satunya adalah Ernest Gellner. Sebagai seorang orientalis, ia memiliki apresiasi yang besar tehadap Islam, dengan mengatakan bahwa di antara 3 agama besar monoteis (samawi), The Abrahamic Religion, yaitu : Yahudi, Nasrani dan Islam, baginya :

“Islam adalah yang paling dekat pada modernitas”, disebabkan oleh kuatnya komitmen ajaran Islam tentang universalisme, skriptualisme (mengajarkan bahwa kitab suci dapat dibaca dan dipahami oleh siapa saja) dan mendorong tradisi baca tulis (literacy), egalitarianisme spiritual (tidak ada sistem kependetaan, karahiban), yang meluaskan partisipasi masyarakat kepada semua anggotnya (mendukung apa yang disebut sebagai participatory democracy), dan akhirnya, yang mengajarkan sistematisasi rasional kehidupan sosial (Nurcholish Madjid, 1992:467-468).

Wallahu a’lamu bishshawab.

Senin, 01 Maret 2010

Empat Konsep Penting Dalam Islam

EMPAT KONSEP PENTING DALAM ISLAM:
Menuju Perubahan lebih baik


Beberapa konsep penting yang ada dalam Islam yang mendorong umatnya untuk melakukan perubahan lebih baik dan pembaharuan adalah :
1. Tawazun , keseimbangan antara kehidupan dunia dan akherat
Allah SWT berfirman :
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Qs: Al-Qashash: 77).
Dan Hadits Nabi SAW:”Beramallah (bekerja giatlah) kamu untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup selamanya, dan beramallah (bekerja giatlah) kamu untuk akheratmu seolah-olah kamu akan mati besok”.
Dalam ayat ini sangat jelas bahwa seorang Muslim diharuskan melakukan kerja yang seimbang antara kepentingan dunia dan akherat dan dilarang berbuat kerusakan. Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini, bahwa kita diperintahkan untuk menggunakan secara optimal apa-apa yang Allah anugerahkan kepada kita berupa harta yang banyak dan kenikmatan yang berlimpah dalam rangka taat pada-Nya dan bertaqorrub dengan berbagai cara. Kita diperintahkan untuk berbuat baik pada Allah sebagaimana Dia telah berbuat baik pada kita. Juga kita dilarang berbuat kerusakan di muka bumi.
Keseimbangan antara kepentingan dunia-sini (inner-worldly) dan dunia-sana (other-worldly) sangat ditekankan. Sehingga seorang Muslim dilarang bersikap skeptis terhadap dunia dan bersikap fatalistik.

2. Disiplin , tidak hidup santai, jujur tidak korup dalam bekerja karena merasa takut pada Allah.
Allah Berfirman : “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan yang lain) Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap” . (Qs: Al-Insyirah: 7-8).
Maksudnya: sebagian ahli Tafsir menafsirkan apabila kamu (Muhammad) telah selesai berdakwah, maka beribadahlah kepada Allah; apabila kamu telah selesai mengerjakan urusan dunia, maka kerjakanlah urusan akhirat dan ada lagi yang mengatakan: apabila telah selesai mengerjakan shalat, maka berdoalah. Dan hanya kepada Allah seorang Muslim berharap.
Di sini sangat jelas bahwa Islam mengajarkan kedisiplinan yang tinggi, tidak santai-santai dan bergantung pada nasib. Tidak menunggu perubahan, tapi sebaliknya melakukan perubahan yang lebih baik, karena sebagaimana Allah SWT berfirman bahwa:”Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sehingga kaum itu sendiri yang berinisiatif dan semangat untuk merubah diri mereka sendiri”. Yang itu semua didasari oleh rasa cemas dan harap pada Allah (targhiib wa tarhiib), berharap dengan kerja keras untuk menjadi “manusia pilihan Tuhan”, -seperti konsep Weber-, dan takut menjadi manusia yang merugi baik di dunia maupun akherat. Yang lebih penting lagi adalah munculnya kesadaran diri bahwa hidupnya sebagai ibadah senantiasa dikontrol oleh Allah SWT (Ihsan). Ihsan inilah sebagai implementasi dari dua tahap sebelumnya yaitu : Islam dan Iman.

3. Semangat untuk berubah ke kondisi yang lebih baik.
Allah SWT berfirman :” Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri (Qs: Ar-Ra’d: 11). Dalam ayat ini sangat jelas bahwa Allah SWT sangat memberi keleluasaan pada manusia untuk melakukan perubahan, bekerja keras dan tidak bergantung pada nasib (deterministik, fatalistik, jabbariyyah). Allah memiliki sunnah-sunnah (sunnatullah), yang menaungi seluruh makhluknya tak terkecuali manusia. Siapapun orangnya, baik Muslim maupun bukan, bila dia berusaha keras, disiplin dalam kerja maka akan mendapat kesuksesan. Betapapun dia adalah Muslim, tapi pemalas, maka dia akan bangkrut dan miskin. Karena dia tidak menempuh sunnah-sunnah Allah. Inilah yang dimaksud oleh Weber bahwa nasib manusia adalah rahasia Tuhan dan untuk menjadi manusia pilihan, maka dia harus berusaha menjadi manusia yang ‘dipanggil’ (beruf, calling), yaitu dengan cara berusaha, disiplin, menabung dan hemat (tidak boros dan menghambur-hamburkan harta).

4. Hidup dinamik dan tidak stagnan
Allah SWT berfirman: “Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung (Qs:Al-Jum’ah: 10). Pada ayat ini, Allah SWT menerangkan bahwa setelah selesai melakukan salat Jumat boleh bertebaran di muka bumi melaksanakan urusan duniawi, berusaha mencari rezeki yang halal, sesudah menunaikan yang bermanfaat untuk akhirat. Hendaklah mengingat Allah sebanyak-banyaknya di dalam mengerjakan usahanya dengan menghindarkan diri dari kecurangan, penyelewengan dan lain-lainnya, karena Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, yang tersembunyi apalagi yang nampak nyata

5. Bersikap ekonomis, hemat dan penuh perhitungan
Allah SWT berfirman :”Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”. (Qs:Al-A’raf: 31)
Maksud dari ayat ini adalah bahwa setiap akan mengerjakan salat atau tawaf sekeliling Ka’bah atau ibadah-ibadah yang lain kita dianjurkan untuk berpakaian yang indah dan pantas. Juga kita dilarang berlebih-lebihan atau melampaui batas dalam hidup di dunia
Pada Surat yang lain Allah berfirman :” dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. Al-Isra: 26-27).
Allah SWT melarang kaum muslimin membelanjakan harta bendanya secara boros dan hidup konsumtif. Larangan ini bertujuan agar kaum muslimin mengatur perbelanjaannya dengan perhitungan yang secermat-cermatnya, agar apa yang dibelanjakannya sesuai dan tepat dengan keperluannya; tidak boleh membelanjakan harta kepada orang-orang yang tidak berhak menerimanya, atau memberikan harta melebihi dari yang seharusnya.
Sebagai keterangan lebih lanjut, bagaimana seharusnya kaum muslimin membelanjakan hartanya, disebutkan firman Allah SWT:
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian (Qs..Al-Furqan:67).
Adapun keterangan yang dapat menjelaskan makna yang terkandung dalam ayat tersebut adalah hadis Nabi SAW sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, ia berkata:
"Rasulullah saw, bertemu dengan Saad pada saat berwudu', lalu Rasulullah bersabda: "Alangkah borosnya wudlu-mu itu hai Saad!". Saad berkata: "Apakah di dalam berwudlu' ada pemborosan.? "Rasulullah saw bersabda: meskipun kamu berada di tepi sungai yang mengalir".

6. Menjunjung tinggi nilai kejujuran dalam timbangan dan takaran.
Allah SWT berfirman. : “ Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu “. (Qs: Ar-Rahman: 9).
Maksud dari ayat tersebut adalah bahwa Allah memerintahkan manusia untuk menegakkan timbangan dengan adil dan tidak berlaku curang. Ini menunjukkan bahwa harus memperhatikan timbangan yang adil dalam semua amal perbuatan manusia dan ucapan-ucapannya. Jujur dalam timbangan, ucapan dan perbuatan menjadikan manusia lain menaruh kepercayaan pada dirinya, yang ini bisa menjadi modal dalam segala kegiatan sehari-hari, baik itu dalam pergaulan sosial maupun perdagangan (aktifitas perekonomian). Sehingga dari sana muncul kerja-sama yang didasari oleh saling percaya dan saling menguntungkan.
Masih banyak ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits yang menstimulir umat Islam agar memiliki spirit (ghirah) kerja yang dibingkai oleh nilai-nilai spiritual. Sayang sungguh sayang, menurut penulis, Weber tidak mengkaji secara mendalam dua sumber tadi dan karenanya penelitiannya sarat dengan subyektifitas diri, yang pada akhirnya berkesimpulan secara salah.
Demikian beberapa dalil yang menjadi hujjah bahwa Islam mendorong untuk maju, moderen, asketisisme duniawi dan positif dalam memperlakukan persoalan dunia (profane) di satu sisi, serta pentingnya nilai-nilai Ilahiyah demi kebahagiaan dunia dan akherat di sisi lain. Bila karakter kuat ini embedded pada setiap muslim, maka ia akan menjadi manusia terpilih dan sempurna (insan kamil).

Wallahu a’lam wa ‘alaihittuklaan

Senin, 22 Februari 2010

Jalanan Yang Rusak: Refleksi Iman

JALANAN YANG RUSAK:
ANTARA IMAN DAN PEDULI

Musim hujan sudah tiba, tiap hari air mengguyur semua apa yang ada di muka bumi. Jalanan mulai tampak becek dan berlobang, tak peduli yang di kampong ataupun jalan besar yang beraspal. Ketika hujan turun, airnya menggerus dan mengelupas lapisan aspal, membuat lobangan, melebar dan jadilah kolam tanpa ikan di tengah jalanan. Tak sekedar menganga bak kulit terkena luka, tapi juga sangat berbahaya bagi semua pengguna. Kecelakaan tak pandang mata, siapapun dia, bisa jadi korbannya. Ya… kalau itu sekedar lecet-lecet. Bagaimana kalau ternyata urusannya menyangkut keselamatan nyawa manusia, lalu siapa yang mau bertanggung jawab.

Bicara soal jalanan yang rusak, sebagai warga biasa yang bodoh, justru tambah makin bingung dan tambah tak cerdas saja demi melihat kenyataan di jalanan. Pertanyaan sering menggelayut: siapa yang sebetulnya bertanggung jawab. Warga yang kebetulan “nyanding” jalan yang berlobangkah (?), karena tiap kali terjadi kecelakaan, merekalah yang siap menjadi relawan dadakan meski serba tidak mencukupi. Atau pak polisikah(?), karena biasanya tiap ada kecelakaan urusannya kadang sampai ke kepolisian. Tak tahulah…..

Tapi bukankah di lembaga pemerintah kita ada yang namanya Dinas Pekerjaan Umum, (dan juga ada Dinas Perhubungan)? Siapa sebenarnya di antara mereka yang pegang tanggung jawab masalah jalan dan rambu-rambu lalu lintas. Atau jangan-jangan telah terjadi mekanisme ‘bola ping-pong’, alias lempar sana-lempar sini, akhirnya molor bahkan terkesan terbengkalai, sembari menunggu lebih banyak lagi korban berjatuhan. Atau menunggu proses tender yang tak kunjung kelar, atau alasan belum saatnya dilakukan perbaikan. Tapi bukankah biasanya setiap ada proyek, di situ juga ada dana dan proyek pemeliharaan dan perawatan (maintenance) jangka panjang. Tak tahulah…. Sebagai warga biasa kita banyak tak tahu…..

Penulis tersentak saat membuka sebuah kitab hadits yang di situ bicara tentang iman. Lebih tersentak lagi bahwa, ternyata Baginda Rasulullah Muhammad SAW ribuan tahun yang lalu sudah peduli dengan fenomena jalanan yang rusak, berlobang, licin, duri atau paku yang terserak, terhalang karena pohon tumbang dan sebagainya. Ternyata jalanan yang rusak, --di situ dijelaskan--, terkait erat dengan tingkat keimanan seseorang atau masyarakat muslim yang ada. singkatnya sebagai barometer, begitulah persisnya…! Kata Nabi SAW: bahwa salah satu ciri iman (mukmin) adalah peduli dan memiliki kemauan untuk menyingkirkan segala gangguan di jalanan. Rasulullah SAW bersabda:
الإيمان بضع و سبعون أو بضع وستون شعبة فأفضلها قول لاإله إلا الله وادناها إماطة الأذى عن الطريق
والحياء شعبة من الإيمان (رواه مسلم
“Iman ada 70 lebih atau 60 lebih bagian, yang paling utama adalah perkataan Laa ilaaha illallah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan rasa malu adalah satu bagian dari iman” (HR. Muslim).

Lalu bagaimana konkritnya korelasi antara keduanya(?), Dan… bagaimana kalau kita lihat kenyataan di Negara barat yang dalam perpektif Islam, mereka bukan muslim dan bukan orang yang beriman, tapi jalanan di sana justru halus dan bebas hambatan, dan tak ada kubangan besar menganga di tengah jalan. Coba kita jujur dan bandingkan, bagaimana dengan jalanan di depan rumah kita, atau jalan besar yang kerap kita lewati. Bukankah banyak pejabat dan pemegang tanggung jawab soal jalanan (sarana transportasi) adalah muslim dan mangaku beriman. Tapi kenapa realitas membuktikan bahwa jalanan rusak di sana sini terkesan terjadi pembiaran sehingga sering terjadi korban jalanan (‘victimisasi di jalan). Fakta sudah bicara bahwa pembunuhan yang kejam adalah di jalan!!! Bisa karena tabrakan ataupun kecelakaan yang diakibatkan jalanan yang sudah tak laik pakai.

Dalam hadits di atas dikatakan bahwa: iman itu ada 70 lebih atau 60 lebih bagian, yang paling utama adalah kalimat tauhid dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan (sesuatu yang menyakitkan dan bisa menghalangi) di jalan. Pengakuan bahwa tidak ada ilah selain Allah adalah puncak dari keyakinan (aqidah) dalam Islam yang menjadi spirit dan sekaligus sebagai timbangan bagi amal-amal setiap mukmin. Ikhlas adalah entitas yang mutlak ada dalam setiap amal mukmin, agar ridlo untuk selalu sepi dari pujian dan pamrih orang lain. Apapun yang diperbuat, semua hanya diorintasikan pada Allah. Seorang petanikah dia, gurukah, karyawankah atau pejabat Negara sekalipun.

Ketika seseorang bekerja dalam lingkar lembaga yang birokratis (pemerintahan), maka semangat profesionalisme dan efisiensi serta ekonomis menjadi spirit dan startingpoint dalam upaya pencapaian tujuan yang maksimal (goal-attainment). Di barat, kinerja barbasis birokratik menjadi suatu aksioma (keharusan yang harus ada) dalam segala system kehidupan yang produktif dalam upaya pemuasan layanan bagi public. Bila ini lemah apalagi gagal, maka publik (masyarakat) punya hak untuk melakukan protes dan kritik atas profesionalitas , sinergitas dan produktifitas satu lembaga. Maka, bila terjadi kecelakaan yang disebabkan jeleknya pelayanan pemerintah dalam urusan transportasi, maka pengguna (masyarakat) berhak atas asuransi.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Barangkali juga seperti itu.., tapi kebanyakan masyarakat merasa bingung harus ke mana ngurusnya, (dan) karena bisa jadi akan terperangkap dalam ruwetnya jaring birokrasi yang panjang . Ironis memang, idealnya, birokrasi yang diharapkan mampu mempercepat urusan, tapi faktanya malah membuat sulit dan ruwet. Inilah PR bagi para pejabat yang ngurusi masalah public service.

Pejabat yang mukmin dan professional, sejatinya akan mendapat nilai plus-plus, dalam menunaikan tanggung jawabnya. Di satu sisi dia sadar bahwa dia akan dimintai pertanggungan-jawab di hadapan Allah SWT dalam bidang yang diembannya, misalnya dalam urusan jalan. Bila dia amanah, maka akan mendapat balasan yang baik dari Allah. Demikian juga sebaliknya. Di sisi yang lain sebagai pejabat negara, dia (mereka) juga akan dimintai tanggung-jawabnya secara kelembagaan sesuai regulasi yang berlaku. Bila baik, maka akan dapat reward. Namun bila jelek maka akan mendapat punishment.

Suatu tindakan terpuji bilamana selaku warga, tiap kali melihat jalanan yang rusak dan jelas membahayakan, kita memberikan informasi kepada pihak yang berkepentingan. Atau bila secara instant bisa diatasi, kita memperbaikinya walau barang sebentar rusak lagi, (kadang merasa capek dechhhhh…). Namun ada juga sikap ignore dengan mengatakan:”Itu bukan urusan saya, khan sudah ada dinas yang mengurusnya??!!! Dalam imajinasi penulis ada bayangan, bahwa semestinya, selama ini, sudah ada mekanisme kerja dan kontrol (pengawasan), serta sinergi antar departemen (dinas) dalam lembaga pemerintahan, sehingga masalah jalanan yang rusak pun sudah included.

Harapan kita, mudah-mudahan jalanan (tetap) segera halus dan nyaman sehingga tidak akan ada lagi korban-korban yang bergelimpangan. Karena sebagai orang yang beriman kita harus selalu menjaga kadar iman kita sampai yang paling rendah sekalipun, yaitu dengan cara menyingkirkan atau menghilangkan segala gangguan yang ada di jalanan. Kepedulian kita ,--khususnya lagi mereka yang bertanggung jawab--, pada kondisi jalanan hendaknya tidak semata alasan profesionalitas, namun lebih dari itu, adalah sebagai perwujudan dari iman kita pada Allah SWT.
Walhamdulillah.