ta'aruf

Foto saya
Orang biasa, belajar lewat diskusi dan sharing ide, berusaha terbuka terhadap pemikiran orang dan referensi, dan yang penting punya prinsip tentang kebenaran.Senang bersilaturrahmi dan berbagi untuk semua.

Senin, 22 Februari 2010

Jalanan Yang Rusak: Refleksi Iman

JALANAN YANG RUSAK:
ANTARA IMAN DAN PEDULI

Musim hujan sudah tiba, tiap hari air mengguyur semua apa yang ada di muka bumi. Jalanan mulai tampak becek dan berlobang, tak peduli yang di kampong ataupun jalan besar yang beraspal. Ketika hujan turun, airnya menggerus dan mengelupas lapisan aspal, membuat lobangan, melebar dan jadilah kolam tanpa ikan di tengah jalanan. Tak sekedar menganga bak kulit terkena luka, tapi juga sangat berbahaya bagi semua pengguna. Kecelakaan tak pandang mata, siapapun dia, bisa jadi korbannya. Ya… kalau itu sekedar lecet-lecet. Bagaimana kalau ternyata urusannya menyangkut keselamatan nyawa manusia, lalu siapa yang mau bertanggung jawab.

Bicara soal jalanan yang rusak, sebagai warga biasa yang bodoh, justru tambah makin bingung dan tambah tak cerdas saja demi melihat kenyataan di jalanan. Pertanyaan sering menggelayut: siapa yang sebetulnya bertanggung jawab. Warga yang kebetulan “nyanding” jalan yang berlobangkah (?), karena tiap kali terjadi kecelakaan, merekalah yang siap menjadi relawan dadakan meski serba tidak mencukupi. Atau pak polisikah(?), karena biasanya tiap ada kecelakaan urusannya kadang sampai ke kepolisian. Tak tahulah…..

Tapi bukankah di lembaga pemerintah kita ada yang namanya Dinas Pekerjaan Umum, (dan juga ada Dinas Perhubungan)? Siapa sebenarnya di antara mereka yang pegang tanggung jawab masalah jalan dan rambu-rambu lalu lintas. Atau jangan-jangan telah terjadi mekanisme ‘bola ping-pong’, alias lempar sana-lempar sini, akhirnya molor bahkan terkesan terbengkalai, sembari menunggu lebih banyak lagi korban berjatuhan. Atau menunggu proses tender yang tak kunjung kelar, atau alasan belum saatnya dilakukan perbaikan. Tapi bukankah biasanya setiap ada proyek, di situ juga ada dana dan proyek pemeliharaan dan perawatan (maintenance) jangka panjang. Tak tahulah…. Sebagai warga biasa kita banyak tak tahu…..

Penulis tersentak saat membuka sebuah kitab hadits yang di situ bicara tentang iman. Lebih tersentak lagi bahwa, ternyata Baginda Rasulullah Muhammad SAW ribuan tahun yang lalu sudah peduli dengan fenomena jalanan yang rusak, berlobang, licin, duri atau paku yang terserak, terhalang karena pohon tumbang dan sebagainya. Ternyata jalanan yang rusak, --di situ dijelaskan--, terkait erat dengan tingkat keimanan seseorang atau masyarakat muslim yang ada. singkatnya sebagai barometer, begitulah persisnya…! Kata Nabi SAW: bahwa salah satu ciri iman (mukmin) adalah peduli dan memiliki kemauan untuk menyingkirkan segala gangguan di jalanan. Rasulullah SAW bersabda:
الإيمان بضع و سبعون أو بضع وستون شعبة فأفضلها قول لاإله إلا الله وادناها إماطة الأذى عن الطريق
والحياء شعبة من الإيمان (رواه مسلم
“Iman ada 70 lebih atau 60 lebih bagian, yang paling utama adalah perkataan Laa ilaaha illallah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan rasa malu adalah satu bagian dari iman” (HR. Muslim).

Lalu bagaimana konkritnya korelasi antara keduanya(?), Dan… bagaimana kalau kita lihat kenyataan di Negara barat yang dalam perpektif Islam, mereka bukan muslim dan bukan orang yang beriman, tapi jalanan di sana justru halus dan bebas hambatan, dan tak ada kubangan besar menganga di tengah jalan. Coba kita jujur dan bandingkan, bagaimana dengan jalanan di depan rumah kita, atau jalan besar yang kerap kita lewati. Bukankah banyak pejabat dan pemegang tanggung jawab soal jalanan (sarana transportasi) adalah muslim dan mangaku beriman. Tapi kenapa realitas membuktikan bahwa jalanan rusak di sana sini terkesan terjadi pembiaran sehingga sering terjadi korban jalanan (‘victimisasi di jalan). Fakta sudah bicara bahwa pembunuhan yang kejam adalah di jalan!!! Bisa karena tabrakan ataupun kecelakaan yang diakibatkan jalanan yang sudah tak laik pakai.

Dalam hadits di atas dikatakan bahwa: iman itu ada 70 lebih atau 60 lebih bagian, yang paling utama adalah kalimat tauhid dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan (sesuatu yang menyakitkan dan bisa menghalangi) di jalan. Pengakuan bahwa tidak ada ilah selain Allah adalah puncak dari keyakinan (aqidah) dalam Islam yang menjadi spirit dan sekaligus sebagai timbangan bagi amal-amal setiap mukmin. Ikhlas adalah entitas yang mutlak ada dalam setiap amal mukmin, agar ridlo untuk selalu sepi dari pujian dan pamrih orang lain. Apapun yang diperbuat, semua hanya diorintasikan pada Allah. Seorang petanikah dia, gurukah, karyawankah atau pejabat Negara sekalipun.

Ketika seseorang bekerja dalam lingkar lembaga yang birokratis (pemerintahan), maka semangat profesionalisme dan efisiensi serta ekonomis menjadi spirit dan startingpoint dalam upaya pencapaian tujuan yang maksimal (goal-attainment). Di barat, kinerja barbasis birokratik menjadi suatu aksioma (keharusan yang harus ada) dalam segala system kehidupan yang produktif dalam upaya pemuasan layanan bagi public. Bila ini lemah apalagi gagal, maka publik (masyarakat) punya hak untuk melakukan protes dan kritik atas profesionalitas , sinergitas dan produktifitas satu lembaga. Maka, bila terjadi kecelakaan yang disebabkan jeleknya pelayanan pemerintah dalam urusan transportasi, maka pengguna (masyarakat) berhak atas asuransi.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Barangkali juga seperti itu.., tapi kebanyakan masyarakat merasa bingung harus ke mana ngurusnya, (dan) karena bisa jadi akan terperangkap dalam ruwetnya jaring birokrasi yang panjang . Ironis memang, idealnya, birokrasi yang diharapkan mampu mempercepat urusan, tapi faktanya malah membuat sulit dan ruwet. Inilah PR bagi para pejabat yang ngurusi masalah public service.

Pejabat yang mukmin dan professional, sejatinya akan mendapat nilai plus-plus, dalam menunaikan tanggung jawabnya. Di satu sisi dia sadar bahwa dia akan dimintai pertanggungan-jawab di hadapan Allah SWT dalam bidang yang diembannya, misalnya dalam urusan jalan. Bila dia amanah, maka akan mendapat balasan yang baik dari Allah. Demikian juga sebaliknya. Di sisi yang lain sebagai pejabat negara, dia (mereka) juga akan dimintai tanggung-jawabnya secara kelembagaan sesuai regulasi yang berlaku. Bila baik, maka akan dapat reward. Namun bila jelek maka akan mendapat punishment.

Suatu tindakan terpuji bilamana selaku warga, tiap kali melihat jalanan yang rusak dan jelas membahayakan, kita memberikan informasi kepada pihak yang berkepentingan. Atau bila secara instant bisa diatasi, kita memperbaikinya walau barang sebentar rusak lagi, (kadang merasa capek dechhhhh…). Namun ada juga sikap ignore dengan mengatakan:”Itu bukan urusan saya, khan sudah ada dinas yang mengurusnya??!!! Dalam imajinasi penulis ada bayangan, bahwa semestinya, selama ini, sudah ada mekanisme kerja dan kontrol (pengawasan), serta sinergi antar departemen (dinas) dalam lembaga pemerintahan, sehingga masalah jalanan yang rusak pun sudah included.

Harapan kita, mudah-mudahan jalanan (tetap) segera halus dan nyaman sehingga tidak akan ada lagi korban-korban yang bergelimpangan. Karena sebagai orang yang beriman kita harus selalu menjaga kadar iman kita sampai yang paling rendah sekalipun, yaitu dengan cara menyingkirkan atau menghilangkan segala gangguan yang ada di jalanan. Kepedulian kita ,--khususnya lagi mereka yang bertanggung jawab--, pada kondisi jalanan hendaknya tidak semata alasan profesionalitas, namun lebih dari itu, adalah sebagai perwujudan dari iman kita pada Allah SWT.
Walhamdulillah.

Jumat, 19 Februari 2010

Mengapa Harus Bersaudara?


المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضا (متفق عليه)


Seorang mukmin bagi mukmin yang lain seperti bangunan, satu bagian dengan bagian yang lain saling menguatkan (merekatkan, mengokohkan).”



Sungguh mulia Islam ini, karena sebagai agama, Islam mengajarkan pentingnya persaudaraan yang kokoh berlandasakan nilai-nilai ilahiyah. Melintasi batas suku, bahasa, warna kulit, status, kepemilikan dan seabreg nilai yang melekat pada diri manusia. Islam telah berhasil menyatukan umatnya dalam rengkuhan aqidah Islamiyah, sebuah keyakinan bahwa tiada ilah selain Allah dan Muhammad SAW sebagai utusan-Nya. Itulah ukhuwah islamiyah. Begitu indah dan dahsyatnya kekuatan persudaraan ini, sehingga setiap muslim di bumi manapun berada, terpadukan dalam ikatan persaudaraan Islam (Islamic brotherhood).

Sejarah telah menorehkan tinta emasnya tentang betapa kaum muhajirin dan kaum anshor berhasil disatukan dalam ikatan Islam, melampaui sekat-sekat sukuisme, status dan isu primordialisme. Suku Aus dan Khazroj yang sekian lama memendam permusuhan dan tak jarang meletup menjadi perang besar antar suku, tiba-tiba terdiam dan tunduk dengan seruan sang manusia agung, Muhammad SAW, untuk rukun dan bersatu dalam ukhuwah Islamiyah. Kaum anshor ikhlas memberikan sebagian kekayaannya demi menolong saudaranya kaum muhajirin Makkah yang tiba di bumi Yatsrib (Madinah). Bahkan dikisahkan ada seorang anshor rela akan menceraikan salah satu istrinya untuk dinikahi oleh saudaranya yang muhajirin, meskipun tawaran ini kemudian ditolak. Dengan jiwa besarnya, si muhajirin tersebut minta ditunjukkan oleh si anshor tempat mana yang strategis untuk berdagang. Akhirnya, si muhajirin tersebut berangkat untuk berdagang, dan bisa kembali ke Madinah dengan membawa untung besar.

Coba kita bandingkan dengan realitas umat Islam sekarang ini. Dalam konteks Indonesia sekarang ini misalnya, umat Islam terfragmentasi dalam banyak pemahaman , organisasi keagamaan, dan kepartaian. Perbedaan kelompok atau organisasi keagamaan, secara riil, tidak jarang memunculkan gesekan dan konflik sampai ke lapisan umat yang paling bawah. Manakala lapisan atas yaitu para pemimpin umat itu memanfaatkan dukungan dari umatnya ketika menghadapi kelompok lain, plus lapisan umat yang selalu membebek pada pemimpinnya, maka sangat boleh jadi konflik dan perselisihan akan berjalan lama dan memakan banyak episode.

Sikap kurang dewasa dengan prinsip mau menang sendiri, sudah menjadi catatan kelam sejarah Islam Indonesia, bahwa umat Islam selalu terpuruk dan tak berdaya karena persoalan internal yang tak kunjung selesai. Hubungan menjadi beku dan mengeras, sikap saling curiga dan mengaku diri yang benar, telah merobek harmoni dan indahnya Islam yang penuh kasih sayang. Namun alhamdulillah, dengan upaya pendekatan para pemimpin agama yang berkelanjutan, nampaknya perpecahan di kalangan umat Islam mulai tereliminir, hubungan makin mencair serta persoalan keumatan dirunding secara dialogis. Ada kesadaran bersama (common consciousness) muncul, bahwa ketika umat Islam tercabik-cabik oleh konflik, terkoyak oleh ambisi pemaksaan kehendak atas yang lain, maka yang terjadi adalah makin terpuruknya peran umat Islam di segala sisi kehidupan dan secara tidak langsung menjadi berita gembira bagi pihak-pihak yang tidak suka bila kekuatan Islam bersatu.

Ketika persaudaraan terjalin dengan dilandasi oleh keimanan yang sama (ukhuwwah imaniyah), insya Allah akan ada secercah atau bahkan banyak cercah harapan dalam menghadapi perosoalan keumatan. Mulai dari ekonomi, pendidikan, kesehatan, sampai masalah kematian. Dari hal-hal yang berskala kecil sampai yang besar. Dan tentunya spirit ukhuwah ini musti dimiliki oleh mereka yang mengaku beriman kepada Allah.

Namun sayang, sepanjang sejarahnya, umat yang besar ini terkotak-kotak dan tumbuh di atas semangat fanatisme golongan yang sempit ditambah klaim kebenaran yang pekat menyelubungi. Bisa jadi ukhuwah (persaudaraan) yang ada karena dibangun atas dasar kesamaan organisasi, suku, ekonomi, pendidikan dsb dengan mengenyampingkan urgensi dan esensi ukhuwah islamiyah itu sendiri. Bila ini yang terjadi maka potensi umat yang luar biasa ini akan berserak dan tidak saling memberi kekuatan. Padahal kata Baginda Muhammad SAW bahwa :”seorang mukmin bagi mukmin yang lain seperti bangunan, satu bagian dengan bagian yang lain saling menguatkan (merekatkan, mengokohkan).”

Bukan sebaliknya saling menjegal, mencurigai, menyudutkan bahkan sampai ada yang menganggap kelompok lain kafir. Banyak pertanyaan yang kudu kita perhatikan. Apakah dalam kehidupan keseharaian, kita masih melihat fenomena perseteruan internal umat? Masihkan kita mendengar atau melihat ada kelompok yang menganggap diri benar dan yang lain salah? Masihkah tangan kita terbelenggu untuk membantu saudara kita yang kesusahan, gara-gara orang itu bukan “bagian” dari kita? Apakah pernah terbesit dalam benak kita, atau bisa jadi sudah menjadi kebiasaan kita, untuk menahan pemberian infaq kepada orang karena kita takut jatuh miskin (khasy-yata imlaq)? Apakah kita sudah menjadi penyandang predikat sebagai ‘pendusta agama’ karena kita menelantarkan anak yatim, emoh peduli pada orang yang miskin papa? Wal’iyadzubillah. Kita berlindung pada Allah semata dari sikap-sikap yang demikian.

Penting untuk diperhatikan bahwa jalinan ukhuwah yang ikhlas di antara orang-orang yang beriman akan kokoh bila mana telah tumbuh sikap-sikap sbb: 1) ta’aruf, yaitu saling mengenal satu sama lain, 2) tafahum, yaitu sikap saling memahami (mutual understanding), 3) ta’awun, yaitu saling memberi pertolongan dalam taqwa dan kebaikan, dan 4) takaful, saling memberi jaminan rasa aman, perlindungan dan tidak saling mengganggu. Keempat sikap tersebut bersifat take and give, atau bersifat resiprokal, artinya bahwa semua yang terlibat bersifat aktif, dinamis dan mobile. Itulah karakter mukmin yang bersaudara. Tidak membuka tangan karena menunggu belas kasih orang lain, namun sebaliknya membuka tangan untuk berbagi kasih, tolong menolong dengan mukmin yang lain. Tidak sekedar bersimpati dengan mukmin yang lain di kala mereka tertimpa musibah, tapi lebih dari itu dia ikhlas memberikan rasa empatinya kepada mereka. Artinya; dia merasakan dan memposisikan dirinya seolah berada pada kondisi di mana mukmin yang lain berada, dalam kondisi sakit sekalipun.

Inilah realitas yang harus dimunculkan sebagai refleksi substantif dari pesan singkat Nabi Muhammad SAW: “Perumpamaan orang-orang mukmin di dalam kasih-mengasihi, cinta-mencintai dan tolong menolong ibarat tubuh yang satu, bila sakit salah satu anggota tubuhnya , akan terpanggil anggota tubuh yang lain dengan (cara) tidak bisa tidur dan merasakan panas.” (HR. Bukhari Muslim)

Semoga kita mampu menerapkan pesan Nabi SAW ini dengan penuh keikhlasan dan keimanan.

Walluhulmusta’an.

Senin, 15 Februari 2010

Bau Orang yang Baca Al-Qur'an

قال رسول الله صلى الله عليه و سلم:

مثل المؤمن الذي يقرأ القرآن مثل الأتروجة ريحها طيب وطعمهاطيب. ومثل المؤمن الذي لايقرأ القرآن مثل التمرة لا ريح لها و طعمها حلو. و مثل المنافق الذي يقرأ القرآن مثل الريحانة ريحها طيب وطعمها مر . و مثل المنافق الذي لا يقرأ القرآن كمثل الحنظلة ليس لها ريح و طعمها مر

(رواه البخاري و مسلم)

Bersabda Rasulullah SAW:”Perumpamaan seorang mukmin yang membaca Al-Qur’an seperti buah utrujah, baunya wangi dan rasanya enak. Perumpamaan seorang mukmin yang tidak membaca Al-Qur’an seperti buah tamar (kurma), tak berbau tapi rasanya manis. Perumpamaan seorang munafik yang membaca Al-Qur’an seperti buah raihanah, baunya enak tapi rasanya pahit. Dan perumpamaan seorang munafik yang tidak membaca Al-Qur’an seperti buah handlolah, tak berbau dan rasanya pahit.
(HR. Bukhari dan Muslim)

Sabtu, 06 Februari 2010

Sambatan Mbangun Umah

Sambatan Gawe Umah:

Studi Tentang Solidaritas Masyarakat Perdesaan di Banyumas

Oleh: A.Farros

Tulisan ini merupakan sebuah kajian tentang “principle of reciprocity” dalam masyarakat Jawa khususnya Banyumas yang berkaitan dengan tradisi turun temurun yang mencirikan masyarakat perdesaan yang kental dengan solidaritasnya yang tinggi. Banyak tradisi yang ada di daerah ini seperti: tradisi kondangan, rewang, sambatan, kerigan dan gerakan serta yang lainnya. Tradisi-tradisi ini bersifat melibatkan banyak orang, tidak berorientasi pada keuntungan, dan memiliki sanksi social yang bersifat laten namun efektif. Namun dalam perkembangannya, seiring dengan kemajuan masyarakat, tradisi ini makin luntur dan digantikan dengan system yang lebih bersifat untung rugi dan pertimbangan pembagian kerja (devision of labor). Tulisan ini akan lebih focus pada kajian tentang tradisi sambatan di daerah Banyumas dengan menggunakan data lapangan dan studi literature.

Tradisi adalah kebiasaan sosial yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya melalui proses sosialisasi. Tradisi menentukan nilai-nilai dan moral masyarakat, karena tradisi merupakan aturan-aturan tentang hal apa yang benar dan hal apa yang salah menurut masyarakat.Konsep tradisi ini meliputi pandangan dunia (world-view) yang mencakup kepercayaan tentang masalah kehidupan dan kematian serta peristiwa alam dan makhluknya, atau konsep tradisi itu berkaitan dengan sistem kepercayaan nilai-nilai dancara serta pola pikir masyarakat (Garna: 2003 : 186).

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa tradisi adalah pandangan dunia tentang kehidupan dan kematian. Kehidupan manusia mencakup apa saja yang menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat baik itu yang bersifat individual maupun komunal dan itu bersifat turun menurun. Termasuk dalam konteks ini adalah tradisi gotong royong berupa sambatan , khususnya yang berhubungan dengan tradisi mbangun umah di kalangan wong Banyumasan.

Dalam masyarakat dikenal adanya tolong menolong secara kolektif yang disebut dengan sambatan. Sambatan merupakan suatu sistem gotong royong di kampung dengan cara menggerakkan tenaga kerja secara massal yang berasal dari warga kampung itu sendiri untuk membantu keluarga yang sedang tertimpa musibah atau sedang mengerjakan sesuatu, seperti membangun rumah, menanam serta memanen padi dan menyelenggarakan pesta pernikahan.
Sambatan dilakukan oleh warga kampung dengan sukarela tanpa mengharapkan upah atas pekerjaaannya itu karena didasari oleh asas principle of reciprocity, yaitu siapa yang membantu tetangganya yang membutuhkan maka suatu saat pasti ia akan dibantu ketika sedang membutuhkan. Selain itu sambatan juga dilandasi oleh falsafah hidup ‘sapa nandur kabecikan, mesti bakal ngunduh’ (siapa menanam kebaikan pasti akan memetik hasilnya) (Ahmad Haidar, Harian Joglo Semar, 6-3-2008).

Sambatan berasal dari kata sambat, yang berarti minta tolong, minta bantuan kepada orang lain. Karena seseorang punya kepentingan atau keperluan yang tidak bisa dilakukan sendiri maka dia akan sambat/minta tolong pada orang lain agar membantunya. Maka terlaksanakanlah kegiatan sambatan, misalnya seseorang akan membangun rumah.

Sambatan adalah realisasi dari gotong royong yang melibatkan banyak orang yang dilaksanakan bersama-sama dan sukarela. Gotong royong untuk kepentingan bersama digerakkan oleh semangat solidaritas mekanik, yang menurut Durkheim, dilakukan karena adanya rasa kebersamaan dan senasib, bersifat tradisional yang pembagian kerja dalam masyarakat masih rendah, norma-norma yang cenderung represif dimana apabila ada yang melanggar maka akan dikenai sanksi sosial, dan masih adanya kesatuan dan integrasi sosial (social integrity) yang tinggi.

Semangat bergotong royong berupa sambatan, melibatkan warga beramai-ramai membantu warga lainnya yang sedang punya gawe. Mereka ikut memperbaiki, bahkan mendirikan rumah tanpa mengharap imbalan apa pun. Budaya sambatan - dengan muatan sikap simpati dan empati- itu merupakan bagian dari budaya adiluhung masyarakat Jawa, dan terasa manfaatnya bagi masyarakat yang kurang mempu.

Ini berbeda dengan solidaritas organik yang mencirikan masyarakat yang lebih maju, dengan sistem kerja yang terspesialisasi (division of labor), kerja didasarkan pada kontrak dan upah, dan tingkat integrasinya lebih rendah. Dalam hal ini, upaya kontrol individu menjadi lemah dan menuju ke suatu keadaan yang berkurangnya norma-norma (normless) yang lebih tinggi dalam masyarakat (Kinloch: 2005: 90). Sehingga kerja sosial seperti gotong royong bisa diganti dengan memberi imbalan uang atau menyewa tenaga orang lain.

Di Masyarakat perdesaan seperti di Banyumas tradisi sambatan adalah gambaran jelas tentang masyarakat “paguyuban”, yang merupakan karakteristik kuat yang masih terikat oleh nilai-nilai lokal dan semua orang yang ada harus terlibat. Di desa-desa, setiap ada orang yang akan membangun rumah maka dia akan mengundang para tetangga dan saudaranya untuk membantu. Para bapak dan anak laki-laki yang sudah dewasa akan membantu secara fisik sebagai wakil dari keluarganya. Sedangkan kaum ibu biasanya membantu urusan dapur untuk mempersiapkan ‘nyamikan’ berupa nasi tumpeng dan kebutuhan lainnya.

Gotong royong pada umumnya dilandasi oleh kesadaran dan kerelaan untuk mengorbankan sebagain tenaganya demi kepentingan umum. Gotong royong untuk kepentingan umum digerakkan oleh rasa solidaritas bahwa aktivitas yang dilakukan akan bermanfaat bersama. Ada yang menarik bahwa secara inklusif kegiatan ini dilakukan bukan tanpa pamrih. Gotong royong ( sambatan: penulis) yang dilakukan antar keluarga didasarkan azas timbal balik. Siapa saja yang pernah menolong tentu akan menerima pertolongan balik dari pihak yang ditolongnya. Pemberian atas prestation (benda, jasa dan sebagainya) pada gilirannya akan menimbulkan kewajiban pula bagi pihak lain yang menerimanya, untuk membalasnya di kemudian hari (Priyono: 2008: 34), inilah yang dinamakan sebagai principle of reciprocity.

Walaupun kegiatan gotong royong (seperti kerigan, sambatan, kondangan, rewang dll) adalah bersifat sosial, tapi ia mengikat orang-orang yang ada di lingkungan setempat, dan pada perkembangannya kemudian mengarah pada tindakan yang bersifat saling membalas. Seseorang memberi apa dan dalam jumlah berapa, maka ketika punya gawe (hajat), dia akan mendapat sepadan dengan yang telah diberikannya.

Masyarakat Perdesaan Banyumas bukanlah orang-orang yang tertinggal dan selalu tradisional. Betapapun tinggi satus sosialnya (pendidikan, ekonomi dll), ketika seseorang masih mengidentifikasi diri sebagai bagian dari masyarakat desa, maka keterikatan dan solidaritas sosialnya lebih kuat dan harus menjunjung tinggi bila dibanding ketika dia berinteraksi dengan orang-orang di daerah perkotaan.

Bisa jadi karena seseorang memiliki banyak peran, misalnya dia menjadi pengusaha sekaligus warga, maka ketika harus mengikuti sambatan rumah tetangga dan dia banyak kegiatan, solusi akhir biasanya mewakilkan pada orang lain atau memberi sesuatu yang bentuknya bukan uang. Karena pemberian uang pada saat sambatan dianggap tidak etis. Atau ketika seseorang tidak bisa sama sekali mengikuti sambatan, biasanya dia akan minta pamit pada sang empunya hajat (sambatan)

Sambatan biasanya dilakukan pada awal pemasangan pondasi rumah jawa itupun hanya satu hari, karena untuk penyelesaiannya (finishing) biasanya dilakukan oleh tukang. Jauh hari sebelum acara sambatan dilaksanakan, yang punya gawe harus sudah mempersiapkan seluruh bahan bangunan yang akan dipasang. Bila para tetangga dan saudara saat sambatan tidak mendapat upah, tapi sekedar nyamikan dan tumpeng (nasi dalam bakul besar dan dikasih ampas kelapa yang gurih dan sekedar lauk pauk), maka para tukang akan mendapat upah. Untuk rumah permanen dari batu bata, sambatan dilakukan pada saat pemasangan kayu balok, usuk, reng dan genteng.

Dengan adanya sambatan warga miskin akan sangat terbantu dan ringan dalam hal biaya ketika membangun rumah, pelaksanakan pernikahan dan hajatan lainnya. Cukup banyak tentunya warga miskin yang harus menanggung utang banyak untuk mencukupi kebutuhan membangun atau meperbaiki rumah dan menyelenggarakan hajatan, bila tidak ada sambatan. (Hasil perbincangan penulis dengan warga Desa Purwodadi Kec.Tambak dalam acara poma-pami ,- sejenis kegiatan arisan -, rutin tingkat RT)

Sambatan ini masih banyak dilakukan oleh orang-orang desa di Banyumas yang dilakukan secara turun temurun sampai sekarang. Kegiatan ini telah berhasil membentuk hubungan solidaritas sosial yang kuat dan mengikat bagi para anggotanya. Bahkan tradisi sambatan sudah menjadi pranata sosial yang tidak boleh dilanggar, karena bagi yang melanggarnya akan mendapat sanksi sosial. Leopold Von Wiese dan Becker mendefinisikan pranata sosial sebagai:’ Suatu jaringan proses-proses hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia yang berfungsi untuk memelihara hubungan-hubunguan tersebut serta pola-polanya, sesuai dengan kepentingan-kepentingan manusia dan kelompok. ( Sony A. Nulhaqim tentang Pranata Sosial).

Sebagai perbandingan, dalam masyarakat perkotaan tradisi sambatan tidak ada lagi, seperti halnya di pusat-pusat kota di Banyumas. Bila ada orang kota punya gawe umah , maka semuanya akan dikerjakan oleh para tukang dengan sistem upah harian ataupun borongan. Mereka bekerja berdasarkan pada keahliannya dan satu sama lain saling tergantung.

Menurut Tonnies, masyarakat perkotaan (urban society) mencerminkan sikap gesellschaftlich, bersifat patembayan dan segala sesuatu diukur dengan uang. Yang ini berbeda dengan masyarakat perdesaan (rural society) yang gemeinschaftlich, masyarakat paguyuban yang lebih mengedepankan solidaritas mekanik. Dalam adat masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam, tradisi sambatan, kondangan dan rewang menemukan titik temu dengan konsep ta’awun (saling tolong dan tergantung satu sama lain).

Semoga tulisan singkat ini bermanfaat.

Tipologi Tonnies Tentang Model Hubungan Sosial:


Gemeinschaft

Gesellschaft

Faktor-faktornya



Kehidupan

Masyarakat

Hubungan

Norma

Motif

Ikatan sosial

Komunal

Tradisional

Keluarga, dekat, instink

Kasih sayang , memahami

Saling menolong dan menjaga

Darah, Tempat, Pikiran

Publik

Industri

Ekonomi, impersonal, artifisial

Nilai-nilai ekonomi, buruh, konsumsi

Persaingan ekonomi

Pertukaran kontrak ekonomi

(Kinloch: 2005: 97)

Jumat, 05 Februari 2010

Banggalah Muslimah!!


BETAPA BERHARGA MENJADI SEORANG WANITA MUSLIMAH

Kaum feminis sering bilang susah jadi wanita, lihat saja peraturan dibawah ini:
* Wanita auratnya lebih susah dijaga (lebih banyak) dibanding lelaki.
* Wanita perlu meminta izin dari suaminya apabila mau keluar rumah tetapi tidak sebaliknya.
* Wanita saksinya (apabila menjadi saksi) kurang berbanding lelaki.
* Wanita menerima warisan lebih sedikit daripada lelaki.
* Wanita perlu menghadapi kesusahan mengandung dan melahirkan anak.
* Wanita wajib taat kepada suaminya, sementara suami tak perlu taat pada isterinya.
* Talak terletak di tangan suami dan bukan isteri.
* Wanita kurang dalam beribadat karena adanya masalah haid Dan nifas yang tak Ada pada lelaki.

Itu sebabnya mereka tidak henti-hentinya berpromosi untuk "MEMERDEKAKAN WANITA".
Pernahkah Kita lihat sebaliknya (kenyataannya) ?
1. Benda yang mahal harganya akan dijaga dan dibelai serta disimpan ditempat yang teraman dan terbaik. Sudah pasti intan permata tidak akan dibiarkan terserak bukan? Itulah bandingannya dengan seorang wanita.
2. Wanita perlu taat kepada suami, tetapi tahukah lelaki wajib taat kepada ibunya tiga kali lebih utama daripada kepada bapaknya?
3. Wanita menerima warisan lebih sedikit daripada lelaki, tetapi tahukah harta itu menjadi milik pribadinya dan tidak perlu diserahkan kepada suaminya, sementara apabila lelaki menerima warisan, ia wajib juga menggunakan hartanya untuk isteri dan anak-anak.
4. Wanita perlu bersusah payah mengandung dan melahirkan anak, tetapi tahukah bahwa setiap saat dia didoakan oleh segala makhluk, malaikat dan seluruh makhluk ALLAH di muka bumi ini, dan tahukah jika ia mati karena melahirkan adalah syahid dan surga menantinya.
5. Di akhirat kelak, seorang lelaki akan dipertanggungjawabkan terhadap 4 wanita, yaitu : Isterinya, ibunya, anak perempuannya dan saudara perempuannya. Artinya, bagi seorang wanita tanggung jawab terhadapnya ditanggung oleh 4 orang lelaki, yaitu : suaminya, ayahnya, anak lelakinya dan saudara lelakinya.
6. Seorang wanita boleh memasuki pintu syurga melalui pintu surga yang mana saja yang disukainya, cukup dengan 4 syarat saja, yaitu: sembahyang 5 waktu, puasa di bulan Ramadhan, taat kepada suaminya dan menjaga kehormatannya.
7. Seorang lelaki wajib berjihad fisabilillah, sementara bagi wanita jika taat akan suaminya, serta menunaikan tanggungjawabnya kepada ALLAH, maka ia akan turut menerima pahala setara seperti pahala orang pergi berjihad fisabilillah tanpa perlu mengangkat senjata.

Masya ALLAH ! Demikian sayangnya ALLAH pada wanita Ingat firman Nya, bahwa mereka (feminis;pen) tidak akan berhenti melakukan segala upaya, sampai kita ikut / tunduk kepada cara-cara / peraturan buatan mereka. Mereka gandrung dengan emansipasi yang kebablasan!!
Yakinlah, bahwa sebagai dzat yang Maha Pencipta, yang menciptakan kita, maka sudah pasti Ia yang Maha Tahu akan manusia, sehingga segala Hukumnya / peraturannya, adalah YANG TERBAIK bagi manusia dibandingkan dengan segala peraturan/hukum buatan manusia.

”Jagalah isterimu karena dia perhiasan, pakaian dan ladangmu, sebagaimana Rasulullah pernah mengajarkan agar kita (kaum lelaki) berbuat baik selalu (gently) terhadap isterimu”.

Adalah sabda Rasulullah bahwa ketika kita memiliki dua atau lebih anak perempuan, mampu menjaga dan mengantarkannya menjadi muslimah yang baik, maka surga adalah jaminannya. (untuk anak laki2 berlaku kaidah yang berbeda).

Berbahagialah wahai para muslimah. Jangan risau hanya untuk apresiasi absurd dan semu di dunia ini. Tunaikan dan tegakkan kewajiban agamamu, niscaya surga menantimu.

Sumber: WANITA MUSLIMAH LUAR BIASA