ta'aruf

Foto saya
Orang biasa, belajar lewat diskusi dan sharing ide, berusaha terbuka terhadap pemikiran orang dan referensi, dan yang penting punya prinsip tentang kebenaran.Senang bersilaturrahmi dan berbagi untuk semua.

Sabtu, 09 Januari 2010

MANUSIA ULUL ALBAB


MANUSIA ULUL ALBAB:

REFLEKSI KESELARASAN ANTARA KEKUATAN AKAL

DAN TRANSENDENTAL

*Oleh: Abu Farros

PENDAHULUAN

Abad ke-21 di mana kita hidup sekarang ini, menunjukkan betapa hebatnya ilmu pengetahuan dan teknologi hasil kreasi manusia. Penemuan demi penemuan di berbagai bidang secara otomatis mempermudah manusia dalam menjalani kehidupan di alam ini. Media telekomunikasi yang menggunakan piranti teknologi yang sangat canggih dan sophisticated, memanjakan para pengguananya (users) untuk melakukan penjelajahan (surfing) ke seluruh sudut ruang semesta ini. Alhasil, bumi dan alam semesta ini telah disulap menjadi apa yang disebut sebagai global village karena begitu dekatnya jarak antar manusia dan tanpa batas sehingga oleh Yasraf Pilliang dikatakan sebagai bumi yang dilipat.

Dalam transportasi, manusia juga telah sukses menciptakan alat transportasi baik di darat laut maupun udara. Tempat yang berjarak ribuan kilometer mampu ditempuh hanya dalam waktu beberapa jam saja. Luar angkasa yang tadinya sebagai wilayah asing dan dianggap sebagai ‘bumi lain” bagi manusia, sekarang ini justru menjadi “buruan” dan alternatif bagi kehidupan manusia setelah bumi ini. Bahkan dengan kekuatan dan kecerdasan yang dimiliki, manusia terus berusaha melakukan serangkaian uji coba saintifik, bahkan sangat mungkin untuk dilakukan tour keliling luar angkasa. Ini sangat luar biasa yang belum pernah terjadi dalam sejarah manusia sebelumnya.

Dunia kedokteran rupanya tidak mau ketinggalan. Seiring dengan merebak dan bertambah banyaknya jenis penyakit, yang diantaranya ditimbulkan oleh ulah manusia, dunia kesehatan dilecut untuk melakukan penelitian dan penemuan medis sebagai upaya mengatasi persoalan kesehatan yang dihadapi manusia. Praktek transplantasi organ tubuh, rekayasa genetika (genetical engeneering) sebagai upaya “menciptakan” manusia yang unggul, sampai penciptaan manusia kembar (cloning) yang ini tanpa harus melalui proses konsepsi antara ovum dan sperma, dianggap sebagai hal yang lumrah. Bukan sesuatu yang impossible, bila suatu saat nanti kecerdasan manusia dianggap telah “menandingi” kekuasaan Tuhan.

TEOLOGIS, METAFISIS DAN POSITIVISTIK

Seorang sosiolog kenamaan, Auguste Comte pernah mengatakan bahwa tahap sejarah pemikiran manusia ada tiga, yang ini menunjukkan adanya perubahan pola pikir (pattern of mind) yang mendasarkan pada kemajuan dan kemampuan akal manusia dalam menanggapi fenomena yang ada di sekelilingnya.

Pertama; tahap teologis yang mengindikasikan bahwa manusia dalam kehidupan masih begitu kuat terikat dengan nilai-nilai yang bersifat transendental, menganut suatu agama (religion) atau kepercayaan (belief). Norma teologis menjadi refference dan guidance mereka dalam segala aspek kehidupan. Bahkan ketundukan mereka begitu kuat, sehingga tidak ada nilai-nilai yang mengungguli doktrin teologis yang mereka anut dan cenderung konservatif.

Kedua; tahap metafisis. Pada tahap ini segala apa yang mereka perbuat yang didasarkan pada nilai teologis, mulai mereka pertanyakan. Cara berfikir filsafat yang spekulatif dan kontemplatif berkembang sebagai akibat tidak terpuaskannya akal manusia selama berselimut doktrin teologis.

Ketiga; tahap positivistik. Pada tahap ini, empirisme menjadi sumber filosofis bagi positivisme terutama pandangan obyektivistik tentang ilmu pengetahuan. Positivisme mengembangkan paham empirik tentang pengetahuan yang lebih ekstrem dengan mengatakan bahwa puncak pengetahuan manusia adalah ilmu-ilmu positif atau sains yaitu ilmu-ilmu yang berangkat dari fakta-fakta yang terverifikasi dan terukur secara ketat (Donny Gahral Adian: Arus Pemikiran Kontemporer, Jalasutra, Yogyakarta, 2001).

Positivisme yang dipicu oleh kebebasan berfikir yang berkembang pada era aufklarung (enlightenment), di Eropa menemukan elan vitalnya berbarengan dengan begitu kuatnya dogma gereja, yang kemudian diakhiri dengan makin merosotnya pamor gereja. Keduanya berdiri berhadapan dan bertentangan. Dengan melesatnya otoritas akal mengungguli doktrin gereja (baca: agama) , berimplikasi pada pemahaman bahwa ilmu pengetahuan harus bersifat “bebas nilai” (value free).

Agama telah tergantikan oleh sains. Misteri berubah hanya menjadi fenomena. Sesuatu yang tadinya gelap (misterius) bagi manusia dan agama sebagai “solusi pelarian”, maka dengan sains menjadi bisa diterangkan (explained). Hanya menjadi phenomenon!! Maka layak bila Tuhan diistirahatkan (deisme). Seorang Nietzche berteriak keras :”REQUIEM AETERNAM DEO! (Semoga Tuhan istirahat dalam damai!!).

DUNIA BARAT YANG MODERN DAN KACAU

Positivisme yang oleh Weber dikatakan sebagai embrio kapitalisme, berjalan secara akseleratif dengan bertumpu pada birokrasi dan kalkulasi yang ketat. Karena kapitalisme lebih berorientasi pada keuntungan, self-interest dan lepas dari nilai-nilai transendental, maka kepedulian pada sifat-sifat kemanusiaan makin terkikis. Kapitalisme telah melakukan dehumanisasi, di mana manusia tidak lagi menjadi subyek tapi sebatas sebagai faktor produksi. Manusia yang seharusnya bisa mengendalikan kemajuan sains demi kamakmuran, telah menjelma menjadi “monster” yang menakutkan. Dalam kondisi seperti ini, manusia telah mengalami alienasi hidup, sifat kemanusiaannya tercerabut, hidup menjadi individualistik, hubungan berubah menjadi kaku dan impersonal tidak lagi intim, institusi keluarga rusak, pergaulan makin permissive, merebaknya penyakit HIV/AIDS dll. Karena sains harus value free ditambah manusianya tidak lagi peduli dengan agama, maka untuk jangka waktu yang lama manusia pemuja rasio ini mengalami “hampa spiritual”. Dan dunia barat dengan segala arogansinya telah mengalami penderitaan ini.

Demi melihat trend barat yang seperti itu, Richard Tarnas mengajukan analisis tentang “The Crisis of Modern Science”. Sebagai akibat dari kesalahan ilmu barat ini, timbullah kerusakan-kerusakan pada alam (ecology), tatanan masyarakat, sifat kemanusiaan. Kerusakan alam berupa planetary ecological crisis, pemusatan kepemilikian pada kelompok tertentu, ketimpangan yang semakin lebar, kemiskinan yang meluas, dan hilangnya jati diri manusia.

Kepongahan barat yang direpresentasikan oleh Amerika dan sekutunya dengan melakukan penjajahan di negara-negara lain, adalah bukti nyata bahwa sifat rakus manusia begitu kentara. Saat mana AS dan negara sekutunya bangga dengan nuklirnya, di lain pihak negara-negara yang mulai bangkit dalam IPTEK (pembangkit nuklir di Iran, India, Pakistan, Korea) diaduk-aduk dengan berbagai alasan. Hegemoni barat begitu kuat dan memaksa negara-negara peripheral untuk tunduk dan mengakui barat sebagai polisi dunia (world police).

TURNING TO THE EAST

Banyak ilmuwan mulai menyadari bahwa pemujaan pada sains yang dikalim bebas nilai ternyata berakibat pada rasa tidak aman, kerusakan alam dan penjajahan kemanusiaan. Kalau di beberapa negara berkembang mengalami demam westo-mania, peniruan barat dalam gaya hidup dan pemahaman bahwa sains adalah segalanya--- ada yang berhasil ada pula yang gagal---, maka justru (orang-orang) barat mengalami kebosanan, kekosongan dalam hidup, putus-asa, dan mulai melirik perlunya sentuhan nilai spiritual dalam segala aspek hidupnya. Spiritualitas bisa berbentuk pelarian pada agama atau praktek ritual dan spiritual yang mereka anggap bisa menyiram dahaga jiwanya. Kebanyakan mereka kemudian melirik ke dunia belahan timur (turning to the east). Namun tidak sidikit yang tetap bergelut dengan kebebasan nilai, pengkultusan pada rasionalitas, hidup bebas dan ketidak-pastian hidup (uncertainty of life) karena mereka tidak percaya lagi dengan Tuhan, kekuatan-bathin yang bersifat hanif (fitrah). Kemudian mereka menuhankan akal (rasio, ilmu pengetahuan dan teknologi), hawa nafsu, wants, desires, dan kekayaan. Mereka adalah manusia yang telah kehilangan HATI, RASA atau QOLBUN.

MANUSIA ULUL ALBAB

Kegagalan barat dengan dominasi sains yang disertai pengkultusan pada rasio, berujung pada ketidakseimbangan manusia dalam menjalani hidup. Sekedar contoh, kecanggihan multi media yang tadinya berorientasi pada pemudahan segala persoalan, ternyata banyak menimbulkan kejahatan (cyber crime)yang sangat membahayakan bagi keamanan manusia (ekonomi, politik, privacy, penjajahan budya dsb).

Agar rasionalitas (kemampuan akal) tidak berbalik menjadi ancaman bagi manusia, maka butuh penyeimbang yaitu hati. Dengan hati yang jernih maka akan tumbuh sifat toleransi, peduli pada sesama dan alam, penghormatan pada privacy, menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Hati perlu diasah dan dibimbing oleh sebuah nilai transendental, sehingga tidak timbul arogansi dan mau menang sendiri. Manakala hati memiliki kecenderungan untuk hanif (sesuai fitrah), maka secanggih apapun sains yang dimiliki manusia, tidak akan menjadi ancaman bagi keberlangsungan (sustainability) hidup manusia dan kelestarian alam. Sebagai ideal type manusia yang diberi tugas sebagai pemelihara bumi (khalifah fil ardh), adalah manakala mampu menempatkan secara imbang antara rasio dan rasa, antara akal dan transendental, antara ‘aqliyyah dan qolbiyyah, antara kemampuan fikir dan kekuatan dzikir.

Dalam konsep Islam manusia ini disebut sebagai ULUL ALBAB. Allah SWT dengan tegas berfirman dalam QS: Ali ‘Imran ; 190-191:

إن فى خلق السموت والأرض واختلاف اليل والنهارلأيت لأولى الألباب- الذين يذكرون الله قياماوقعوداوعلى جنوبهم و يتفكرون فىخلق السموت و الأرض ربنا ما خلقت هذ ا باطلا سبحانك فقنا عذا ب النار.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata),”Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab api neraka”.Wallahu a’lamu bish-shawab.

*Abu Farros, pernah nyantri di Ponpes Wathaniyyah Islamiyyah Petanahan Kebumen.