ta'aruf

Foto saya
Orang biasa, belajar lewat diskusi dan sharing ide, berusaha terbuka terhadap pemikiran orang dan referensi, dan yang penting punya prinsip tentang kebenaran.Senang bersilaturrahmi dan berbagi untuk semua.

Jumat, 19 Februari 2010

Mengapa Harus Bersaudara?


المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضا (متفق عليه)


Seorang mukmin bagi mukmin yang lain seperti bangunan, satu bagian dengan bagian yang lain saling menguatkan (merekatkan, mengokohkan).”



Sungguh mulia Islam ini, karena sebagai agama, Islam mengajarkan pentingnya persaudaraan yang kokoh berlandasakan nilai-nilai ilahiyah. Melintasi batas suku, bahasa, warna kulit, status, kepemilikan dan seabreg nilai yang melekat pada diri manusia. Islam telah berhasil menyatukan umatnya dalam rengkuhan aqidah Islamiyah, sebuah keyakinan bahwa tiada ilah selain Allah dan Muhammad SAW sebagai utusan-Nya. Itulah ukhuwah islamiyah. Begitu indah dan dahsyatnya kekuatan persudaraan ini, sehingga setiap muslim di bumi manapun berada, terpadukan dalam ikatan persaudaraan Islam (Islamic brotherhood).

Sejarah telah menorehkan tinta emasnya tentang betapa kaum muhajirin dan kaum anshor berhasil disatukan dalam ikatan Islam, melampaui sekat-sekat sukuisme, status dan isu primordialisme. Suku Aus dan Khazroj yang sekian lama memendam permusuhan dan tak jarang meletup menjadi perang besar antar suku, tiba-tiba terdiam dan tunduk dengan seruan sang manusia agung, Muhammad SAW, untuk rukun dan bersatu dalam ukhuwah Islamiyah. Kaum anshor ikhlas memberikan sebagian kekayaannya demi menolong saudaranya kaum muhajirin Makkah yang tiba di bumi Yatsrib (Madinah). Bahkan dikisahkan ada seorang anshor rela akan menceraikan salah satu istrinya untuk dinikahi oleh saudaranya yang muhajirin, meskipun tawaran ini kemudian ditolak. Dengan jiwa besarnya, si muhajirin tersebut minta ditunjukkan oleh si anshor tempat mana yang strategis untuk berdagang. Akhirnya, si muhajirin tersebut berangkat untuk berdagang, dan bisa kembali ke Madinah dengan membawa untung besar.

Coba kita bandingkan dengan realitas umat Islam sekarang ini. Dalam konteks Indonesia sekarang ini misalnya, umat Islam terfragmentasi dalam banyak pemahaman , organisasi keagamaan, dan kepartaian. Perbedaan kelompok atau organisasi keagamaan, secara riil, tidak jarang memunculkan gesekan dan konflik sampai ke lapisan umat yang paling bawah. Manakala lapisan atas yaitu para pemimpin umat itu memanfaatkan dukungan dari umatnya ketika menghadapi kelompok lain, plus lapisan umat yang selalu membebek pada pemimpinnya, maka sangat boleh jadi konflik dan perselisihan akan berjalan lama dan memakan banyak episode.

Sikap kurang dewasa dengan prinsip mau menang sendiri, sudah menjadi catatan kelam sejarah Islam Indonesia, bahwa umat Islam selalu terpuruk dan tak berdaya karena persoalan internal yang tak kunjung selesai. Hubungan menjadi beku dan mengeras, sikap saling curiga dan mengaku diri yang benar, telah merobek harmoni dan indahnya Islam yang penuh kasih sayang. Namun alhamdulillah, dengan upaya pendekatan para pemimpin agama yang berkelanjutan, nampaknya perpecahan di kalangan umat Islam mulai tereliminir, hubungan makin mencair serta persoalan keumatan dirunding secara dialogis. Ada kesadaran bersama (common consciousness) muncul, bahwa ketika umat Islam tercabik-cabik oleh konflik, terkoyak oleh ambisi pemaksaan kehendak atas yang lain, maka yang terjadi adalah makin terpuruknya peran umat Islam di segala sisi kehidupan dan secara tidak langsung menjadi berita gembira bagi pihak-pihak yang tidak suka bila kekuatan Islam bersatu.

Ketika persaudaraan terjalin dengan dilandasi oleh keimanan yang sama (ukhuwwah imaniyah), insya Allah akan ada secercah atau bahkan banyak cercah harapan dalam menghadapi perosoalan keumatan. Mulai dari ekonomi, pendidikan, kesehatan, sampai masalah kematian. Dari hal-hal yang berskala kecil sampai yang besar. Dan tentunya spirit ukhuwah ini musti dimiliki oleh mereka yang mengaku beriman kepada Allah.

Namun sayang, sepanjang sejarahnya, umat yang besar ini terkotak-kotak dan tumbuh di atas semangat fanatisme golongan yang sempit ditambah klaim kebenaran yang pekat menyelubungi. Bisa jadi ukhuwah (persaudaraan) yang ada karena dibangun atas dasar kesamaan organisasi, suku, ekonomi, pendidikan dsb dengan mengenyampingkan urgensi dan esensi ukhuwah islamiyah itu sendiri. Bila ini yang terjadi maka potensi umat yang luar biasa ini akan berserak dan tidak saling memberi kekuatan. Padahal kata Baginda Muhammad SAW bahwa :”seorang mukmin bagi mukmin yang lain seperti bangunan, satu bagian dengan bagian yang lain saling menguatkan (merekatkan, mengokohkan).”

Bukan sebaliknya saling menjegal, mencurigai, menyudutkan bahkan sampai ada yang menganggap kelompok lain kafir. Banyak pertanyaan yang kudu kita perhatikan. Apakah dalam kehidupan keseharaian, kita masih melihat fenomena perseteruan internal umat? Masihkan kita mendengar atau melihat ada kelompok yang menganggap diri benar dan yang lain salah? Masihkah tangan kita terbelenggu untuk membantu saudara kita yang kesusahan, gara-gara orang itu bukan “bagian” dari kita? Apakah pernah terbesit dalam benak kita, atau bisa jadi sudah menjadi kebiasaan kita, untuk menahan pemberian infaq kepada orang karena kita takut jatuh miskin (khasy-yata imlaq)? Apakah kita sudah menjadi penyandang predikat sebagai ‘pendusta agama’ karena kita menelantarkan anak yatim, emoh peduli pada orang yang miskin papa? Wal’iyadzubillah. Kita berlindung pada Allah semata dari sikap-sikap yang demikian.

Penting untuk diperhatikan bahwa jalinan ukhuwah yang ikhlas di antara orang-orang yang beriman akan kokoh bila mana telah tumbuh sikap-sikap sbb: 1) ta’aruf, yaitu saling mengenal satu sama lain, 2) tafahum, yaitu sikap saling memahami (mutual understanding), 3) ta’awun, yaitu saling memberi pertolongan dalam taqwa dan kebaikan, dan 4) takaful, saling memberi jaminan rasa aman, perlindungan dan tidak saling mengganggu. Keempat sikap tersebut bersifat take and give, atau bersifat resiprokal, artinya bahwa semua yang terlibat bersifat aktif, dinamis dan mobile. Itulah karakter mukmin yang bersaudara. Tidak membuka tangan karena menunggu belas kasih orang lain, namun sebaliknya membuka tangan untuk berbagi kasih, tolong menolong dengan mukmin yang lain. Tidak sekedar bersimpati dengan mukmin yang lain di kala mereka tertimpa musibah, tapi lebih dari itu dia ikhlas memberikan rasa empatinya kepada mereka. Artinya; dia merasakan dan memposisikan dirinya seolah berada pada kondisi di mana mukmin yang lain berada, dalam kondisi sakit sekalipun.

Inilah realitas yang harus dimunculkan sebagai refleksi substantif dari pesan singkat Nabi Muhammad SAW: “Perumpamaan orang-orang mukmin di dalam kasih-mengasihi, cinta-mencintai dan tolong menolong ibarat tubuh yang satu, bila sakit salah satu anggota tubuhnya , akan terpanggil anggota tubuh yang lain dengan (cara) tidak bisa tidur dan merasakan panas.” (HR. Bukhari Muslim)

Semoga kita mampu menerapkan pesan Nabi SAW ini dengan penuh keikhlasan dan keimanan.

Walluhulmusta’an.