FUNDAMENTALISME : ANTARA STIGMA DAN REALITAS
Oleh: A.Farrosy
PENDAHULUAN
Ketika mendengar sebutan fundamentalisme maka yang terbersit dalam pikiran kita adalah kelompok orang atau gerakan yang dalam usahanya cenderung memakai cara-cara kekerasan, tidak bersikap toleran dengan kelompok lain (intolerance) dan menganggap diri yang benar (truth cliam). Fundamentalisme bukan menjadi monopoli agama atau ideologi tertentu, tetapi ia bisa tumbuh dan berkembang di setiap agama dan ideologi di mana saja.
Banyak pakar berpendapat bahwa fundamentalisme pertama lahir pada tradisi Protestan khususnya di Amerika Serikat. Dalam beberapa literatur, istilah ini memang selalu dikaitkan dengan tradisi Kristen Protestan, yakni salah satu sekte keagamaan yang cenderung manafsirkan teks-teks agama secara kaku (rigid) dan harfiah (litetalis/textualis), serta cenderung defensif terhadap modernisme. Dengan kata lain, ia merupakan keyakinan akan kebenaran mutlak Bible dan menegaskan perlawanan terhadap ilmu pengetahuan sekuler.
Secara essensial sikap fundamentalisme merefleksikan sikap tidak percaya pada kemampuan rasionalitas dan lebih menekankan aspek emosionalitas, tidak mau menggunakan nalar manusia dalam menyelesaikan persoalan pokok (ultimate problems), sebaliknya segalanya dikonsultasikan pada lembaga ketuhanan (divine agency). Fundamentalisme berdiri melawan pemikiran liberal yang lebih mengacu pada positivisme dan bertumpu pada arus sekulerisme yang tegas-tegas mendikotomikan antara agama dan ilmu pengetahuan serta urusan agama (gereja) dan urusan negara. Yang pada batas-batas tertentu liberalisasi pemikiran- yang dalam bahasa Weber disebut era positifistik- memunculkan fenomena “Tuhan telah mati” Nietzsche, Radical Empirisme Hume, Positivisme Comte, Positivisme Logis Carnap, Sekulerisme dan ilmu pengetahuan yang rasional-empirik, sampai pada Deisme dan Agnotisme. (Zainul Abbas, 2003: 56).
Dalam type of social action-ya Weber, fundamentalisme didasarkan pada motif wertrationalitat yang didorong oleh keyakinan yang mendalam bahwa agama memiliki kebenaran mutlak yang tidak diragukan lagi (undebatable). Fundamentalisme memposisikan hukum dan wahyu Tuhan (syari’ah dalam Islam) di atas hukum dan rasionalitas manusia. Sementara kelompok liberalis-sekuleris-modernis condong menggunakan motif zweckrationalitat yang lebih bertumpu pada kemampuan akal (rationalization) dalam mencapai tujuan. (David Jary & Julia Jary, 1991: 671)
Dalam perkembangannya, istilah fundamentalisme makin meluas pada beberapa agama. Di India misalnya, ada fundamentalisme Hindu yang sangat radikal menentang kebijkan pemerintah yang dirasa merugikan mereka. Kemudian di Irlandia juga muncul gerakan fundamentalis Protestan dan Katolik yang saling berhadap-hadapan. Kemudian di Israel juga muncul sekte Yahudi yang sangat radikal dan keras apalagi ketika menghadapi persoalan Palestina yang mayoritas muslim. Tidak jarang gerakan fundamentalis ini menghalalkan tindak kekerasan (violence) dalam aksinya demi tercapainya tujuan dengan anggapan bahwa merekalah yang benar secara teologis, dan dengan aksi seperti ini mereka berharap lebih mendapat perhatian dari mata internasional.
Lalu bagaimana dengan Islam ?
FUNDAMENTALISME DALAM ISLAM
Penulis berpendapat bahwa fundamentalisme tidak identik dengan Islam apalagi menyatu dengan Islam, dengan alasan bahwa awal kemunculan fundamentalisme dalam Protestan sangat berbeda dengan apa yang ada dalam Islam. Martin Van Bruinessen ( 1998: 65) mengatakan bahwa dalam konteks Islam terdapat latar belakang intelektual dan politik yang berbeda, sehingga pelabelan fundamentalisme sering menimbulkan kerancuan. Dalam masyarakat muslim kecenderungan untuk menafsirkan teks-teks keagamaan secara tekstual dan rigid memang sempat ditemui, yang dengan alasan itulah kemudian istilah fundamentalisme Islam dilekatkan pada mereka oleh para orientalis dan Islamisis Barat.
Stigmatisasi bahwa fundamentalisme identik dengan Islam, bahkan dalam agama ini pula tumbuh subur bibit radikalisme, adalah tidak lepas dari skenario Barat dengan dukungan media yang menderita Islamo-phobia guna menyudutkan Islam. Pasca tumbangnya blok timur dengan ideologi komunismenya, menjadi berita gembira bagi Barat sekaligus menggelisahkan karena pasti akan ada musuh baru bagi mereka. Terlebih lagi Samuel Huntington, seorang pakar politik internasuional AS, mengeluarkan tesis tentang The Clash Of Civilization yang secara tersamar menyebutkan bahwa Islam akan menjadi ancaman bagi Barat. Agaknya Barat dengan dikomandani AS mengamini tesis ini yang kemudian membuat kebijakan yang radikal terhadap Islam, yang mereka klaim sebagai kebijakan pre-emptif (pre-emptive policy).
Sebetulnya tesis
Selepas peristiwa hancurnya gedung WTC (11 September), AS lebih curiga lagi bahwa pelakunya adalah dari kelompok tertentu dari agama tertentu, yaitu Islam. Tudingan tidak berdasar ini kemudian melahirkan kebijakan agresif AS dalam kancah politik internasional, khususnya ketika menghadapi negara-negara Islam sektarian seperti Iran, Irak, Afganistan, Yordania, Arab Saudi, Sudan dan beberapa negara mayoritas muslim Asia Tenggara, yang disinyalir manjadi the nest of terrorism. Tidak terkecuali adalah
KONTEKS
Dalam konteks Indonesia, peristiwa Nine One-One yang menghancurkan gedung WTC dan bom di Legian Bali, setidaknya menjadi alasan kuat bagi Barat untuk menuding bahwa Indonesia menjadi persemaian bibit terorisme di Asia yang sewaktu-waktu mengancam kepentingan Barat (AS) di Seluruh dunia. Barat merekomendasikan bahwa ada beberapa kelompok Islam radikal di Indonesia yang mengembangkan paham fundamentalis, sebagai misal: Front Pembela Islam (FPI) pimpinan Habib Rizieq, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) pimpinan Abu Bakar Ba’asyier serta Kelompok Salafy (dulu Farum Komunikasi Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah –FKAWJ- pimpinan Ja’far Umat Thalib) (Endang Turmudi & Riza Sihbudi: 2005: 121-122)..
Untuk yang terakhir, belakangan (sekitar tahun 2003) mengalami perpecahan menyusul keluarnya fatwa dari Mufti mereka di Arab Saudi yang berisi: “tidak layak berimam pada Ja’far Umar Thalib karena yang bersangkutan sudah keluar dari paham Salafiyyah”. Sepengetahuan penulis selama mendalami dan melakukan penelitian melalui pengamatan partisipatoris, friksi dan pertentangan di kalangan mereka yang mengklaim diri sebagai penerus paham Salafiyyah memang sangat keras, sehingga ada semacam konsensus diam-diam untuk tidak berguru pada ustadz di luar kelompoknya, dengan alasan yang bersangkutan adalah ahli bid’ah, pengikut paham sururiyyah, atau mu’tazilah.
Ketiganya (FPI, MMI, Salafy) membangun jaringan baik regional maupun internasional dan memiliki paham kegamaan yang sama di Timur Tengah, yang tumbuh dari paham Sunni. Selain Sunni ada paham lain yang juga berpengaruh luas sampai di
Di Indonesia paham ini terus berkembang dengan banyak pengikut yang aktif di berbagai bidang seperti dakwah, pendidikan, budaya, ekonomi maupun politik. Maka kita bisa melihat orang-orang (mereka) yang punya semangat spiritual-religioucity yang tinggi berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda, keluaran pendidikan agama, Perguruan Tinggi Umum, baik dalam maupun luar negeri, serta tingkatan ekonomi yang beragam. Demi melihat fenomena ini, Muhammad Sa’id al-Asymawi membedakannya menjadi: “activist political fundamentalism” dan “rationalist spiritualist fundamentalism” (Zulfi Mubarak, 2006: 191)
Sementara paham Syi’ah menemukan momentum pentingnya pasca tumbangnya Syah Pahlevi di Iran sebagai boneka AS, oleh Imam Khomeini bersama para pendukungnya. Revolusi Syi’ah di negeri para mullah ini kemudian menjadi inspirator bagi kebangkitan Islam (Syi’ah) di seluruh dunia. Meskipun tidak sebesar Sunni, di Indonesia Syi’ah juga berkembang secara militan dengan dukungan dana yang kuat dari Republik Islam
Dua model di atas bisa tumbuh dan berkembang pesat dan bisa menjadi sebuah kekuatan alternatif di dunia,- sehingga di mata AS nampak sebagai musuh semu yang berbahaya (the pseudo dangerous enemy)-, dikarenakan adanya dukungan dari kekuasaan (power) yang sedang berkuasa di dua negara minyak Timur Tengah yaitu Arab Saudi dan
Untuk kasus
RADIKALISME ATAU REVIVALISME
Banyak kalangan berpendapat bahwa gejala radikalisasi agama bukanlah dipicu oleh semakin baiknya pemahaman umat pada agamanya, tapi lebih dipicu oleh tekanan dari luar. Dalam konteks ini, kebijakan AS yang radikal dan merugikan umat Islam lah yang justru memberi andil besar dalam melahirkan sikap resistensi umat Islam dalam rangka membela diri (defensive action) menghadapi kepongahan negara adi daya ini. Celakanya, sikap umat Islam yang seperti itu diterjemahkan oleh AS sebagai bentuk radikalisme, ekstrimisme, fundamentalisme bahkan aksi terrorisme. Atau jangan-jangan AS sedang memainkan skenario besar (grand design) dalam upaya menggiring semua yang dianggap sebagai musuh masuk ke dalam perangkapnya.
Sebagai world police, dalam kaca mata
” Bersama kami memerangi teroris, atau menjadi musuh kami!”. Dalam rangka itu semua, AS sedang merekayasa tatanan dunia (world order) sesuai dengan kehendaknya, dalam arti semua negara dengan ideologi dan agama apapun harus tunduk pada kemauannya . Agaknya kebijakan AS lebih mengacu pada pendekatan Parsonian dengan teorinya Fungsionalisme Struktural yang merekomendasikan urgensi atau keharusan akan tertibnya semua unsur-unsur yang menjadi bagian dari masyarakat (masyarakat tatanan dunia model AS). Ketika ada bagian yang menyimpang (deviance), maka harus ditumpas. Dalam perspektif Amerika, Kebangkitan Islam yang dianggap sebagai Islam radikal, fundamentalis dan ekstrimis dikategorikan sebagai fenomena menyimpang (deviance phenomenon), konsekwensinya harus dihadapi, dieliminir kalau perlu dihancurkan.
PENUTUP
Sangat menarik analisis dari pemikir Islam terkenal, Fazlur Rahman, bahwa fenomena kebangkitan Islam ini sebagai bentuk revivalism dalam artian umat Islam kembali memiliki semangat untuk melaksanakan ajaran agama (collective turning point) (Jamhari & Jajang Jahroni, 2004: 12). Sementara itu Asyumardi Azra lebih melihat bahwa fenomena massifikasi ghirah/spirit/commitment umat Islam
*penulis adalah book lover, pernah nyantri di ppwi karangduwur..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
umpan balik