ta'aruf

Foto saya
Orang biasa, belajar lewat diskusi dan sharing ide, berusaha terbuka terhadap pemikiran orang dan referensi, dan yang penting punya prinsip tentang kebenaran.Senang bersilaturrahmi dan berbagi untuk semua.

Rabu, 03 Maret 2010

Islam dan Politik di Indonesia

ISLAM DAN POLITIK DI INDONESIA

PENDAHULUAN

Berbicara tentang Indonesia adalah berbicara tentang Islam di Indonesia. Ini adalah karena alasan statistik, demografis dan sosiologis. Umat Islam adalah mayoritas di Indonesia. Karena itu menurut Nurcholish Madjid, setiap visi tentang Indonesia pada dasarnya adalah visi tentang Islam Indonesia (Madjid, 1999: XV). Termasuk dalam bidang politik, maka pembicaraan tidak bisa lari dari kontek keislaman di Indonesia, karena umat Islam adalah entitas bangsa yang penting dalam proses demokratisasi politik.

Secara tegas Nurcholish menguraikan bahwa berbicara tentang Islam dan politik selalu menarik perhatian karena kenyataan adanya hubungan yang sangat erat antara keduanya dalam sejarah. Semenjak hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Yatsrib, yang kemudian diganti namanya dngan Madinah, agenda-agenda politik telah diletakkan, sejak itu di samping sebagai utusan Allah juga sebagai kepala Negara yang mengatur masyarakat yang plural (Madjid, 19954: 187).


HUBUNGAN ISLAM DAN POLITIK

Teori modenisasi menjelaskan, bahwa perkembangan suatu bangsa dalam rangka mencapai modern and industrial society, harus menggunakan paradigma positivistic yang ditandai dengan tumbuhnya budaya materialisme, kalkulatif dan effectiveness. Masyarakat ini menurut Weber, berada pada pengagungan pada sains yang telah berhasil melewati tahap mitos dan religion. Sehingga teori modernisasi merekomendasikan bahwa agama dan pembangunan adalah incompatible. Dalam pembangunan politikpun agama dianggap tidak layak lagi untuk dilibatkan. Inilah yang menurut Peter L. Berger seperti dikutip oleh Kuntowijiyo (1997:174) dan disebut sebagai sekulerisme obyektif di mana praktek kenegaraan dipisahkan dari agama secara ekstrim.
Bagaimana dengan Islam ?

Secara teologis, agama adalah ajaran yang didasarkan pada wahyu, produk Tuhan yang bersifat sakral, transcendental (theo-centris) Sementara politik adalah praktek kemanusiaan yang keberadaannya adalah produk manusia dan bersifat profane (anthropo-centris).
Secara sosiologis agama akan dapat teraktualisasi bilaman telah diejawantahkan dalam bentuk aksi social (social action), karena memang salah satu fungsi dari agama adalah menjadi ‘guidance’ bagi manusia di muka buni. Pemahaman spirit inilah yang dianut oleh Islam, di mana ajaran-ajarannya mengatur masalah ekonomi, social, budaya, politik dll. Dalam pengertian ini Collins (1986:7) berkata :Religion is really economics, politics is really religion and economis is really politics”.

Dalam dunia Islam ada tiga aliran dalam melihat hubungan antara agama dan politik. Pertama, Islam bukanlah semata-mata dalam pengertian barat, yakni hanya menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan belaka, tapi Islam adalah agama yang sempurna dan mengatur semua aspek kehidupan manuisa, termasuk didalamnya adalah politik. Kedua, Islam sama sekali tidak mengatur urusan politik, karena hanya mengatur masalah keagamaan. Ketiga, berbeda dengan pendapat pertama,Islam mengatur politik secara implicit, karena dalan Al-Qur’an maupun Hadits tidak ditemukan dalil qoth’I (eksplisit) yang berbicara masalah itu. (Basyir, 1996:23-25).
Dari tiga aliran di atas, penulis cenderung untuk berpendapat bahwa pemikiran pertama dan ketiga itulah yang bisa dijadikan landasan teologis bagi pendirian partai-partai untuk memperjuangkan kepentingan Islam termasuk di Indonesia. Politik ideal yang tumbuh subur di Indonesia juga dipengaruhi oleh”political stereotype” yang dibangun oleh Muhammad SAW di Madinah yang berisi kesepakatan atas pluralitas masyarakat Madinah.

Dalam kasus ini yang sering menjadi referen pentingnya pembentukan masyarakat madani (civil society) para pemikir Islam berbeda pendapat bahwa ini adalah “ideal type” masyarakat Islam. Sebagaian setuju namun sebagian menolak. Kelompok terakhir berargumentasi bahwa dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits tidak ada perintah pentingnya pendirian Negara Islam (Islamic State). Namun yang urgen adalah terbentuknya masyarakat yang teratur, egaliter, demokratis dan menghormati ha-hak asasi manusia.

Ibnu Taimiyah, seorang ulama terkenal yang sering menjadi rujukan dalam persoalan politik, menolak adanya konsep Negara Islam. Dia berkata”….pengertian Negara Islam di sini tidak harus secara de facto berdirinya Negara dengan atribut Islam, melainkan Negara yang tunduk pada konsitusi umum yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Ia menghendaki system pemerintahan yang menekankan pada asas konstitusi, kooperasi dan hubungan perjanjian melalui kontrak social (Basyir, 1996:97).

Selanjutnya Amien Rais (1987:46) secara tegas menguraikan tiga prinsip demokrasi dalam Islam. Pertama; system pemerintahan harus ditegakkan atas dasar prinsip keadilan (al-‘adalah) dalam arti seluas luasnya bagi seluruh warga dalam bidang hukum, social dan ekonomi. Kedua, system politik harus didasarkan pada prinsip syura dan musyawarah. Prinsip ini menentrang elitisme, membuka partisipasi warga dalam proses pengambilan keputusan (decision making), dan menutup kemungkinan terjadinya penyelewengan Negara ke arah otoritarianisme, despotisme, diktatorisme dan system lain yang membunuh hak-hak rakyat. Ketiga, prinsip persaudaraan (ukhuwwah) dan kesetaraaan (equality, musawah). Politik Islam tidak membeda-bedakan orang atas dasar perbedaan gender, etnis, warna kulit, latar belakang sejarah, ekonomi dan social. Islam mengajarkan pentingnya hidup berdampingan secara damai dengan non-muslim.

Memperhatikan ajaran substantive dalam Islam tentang politik, Nurcholish optimis bahwa secara prinsip Islam memiliki potensi lebih banyak untuk mendukung demokrasi dari pada Kristen, sebab dalam Islam tidak mengenal system kependetaan.Terdapat banyak indikasi bahwa pemikiran Islam pro-demokrasi cukup kuat dan relevan berkembang, utamanya di Indonesia kontemporer. “Jauh dari menjadi ancaman bagi demokrasi, Islam malah dapat menjadi factor kuat alam mendukungnya” (Uhlin, 1998:80).

ORIENTASI POLITIK ISLAM

“Indonesia bukan Negara sekuler, bukan pula Negara agama”. Statemen tersebut sangat simple , namun punya implikasi luas terhadap perilaku bangsa dalam segala aspek kehidupan. “Grand Narrative” ini belakangan mulai dipertanyakan kebsahannya karena muncul asumsi kuat bahwa sebetulnya Indonesia adalah “Negara sekuler yang malu-malu”.
Ada konsep alternatif sebagai ganti grand narrative di atas yaitu konsep “Indonesia bukan Negara sekuler, tapi Negara yang didasarkan pada spirit dan moralitas agama”. Nilai universal dari agama-agama dijadikan landasan bagi system kenegaraan, sehingga keduanya adalah suatu entitas yang padu dan saling mengisi.

Di Negara-negara timur tengah dengan agama yang relatif homogen, persoalan hubungan antar agama dan politik jarang atau bahkan tidak pernah muncul ke permukaan. Ini berbeda dengan Negara-negara yang relative heterogen dalam persoalan agama. Alford (1997:101) berkata”connection between religion and politics arises as problem in nations which are not religiously homogenous”.
Islam adalah rahmatan lil’alamin. Itulah konsep yang sering digunakan oleh kalangan Islam, yang berarti bahwa Islam sebagai agama yang menebarkan rahmat, perlindungan dan pengayoman bagi seluruh manusia. Implementasi politik pun dipandu dan dikelilingi oleh atmosfer kerahmatan, betapapun bila suatu saat Islam (muslim) menjadi pengendali kekuasaan, rahmat harus tetap terwujud. Konsep ini bukanlah utopia, namun bersifat aplikatif.

Penulis punya asumsi bahwa berdirinya banyak partai Islama tidaklah dimaksudkan sebagai kerja besar untuk mendirikan Negara Islam (Islamic state), tapi terbentuknya masyarakat Islam dengan alasan: pertama, bahwa keberadaan partai Islam lebih menekankan pada terwujudnya masyarakat madani yang di dalamnya terkandung nilai-nilai universal seperti demokrasi, keadilan (justice), kesetaraan (equality) dan kebebasan (freedom) tanpa mengganggu individu atau kelompok lain. Kedua, berkembangnya wacana pemikiran Islam transformis yang mengendapkan nilai transcendental Islam yang memiliki kekuatan moral sebagai control atas praktek atas otoritarianisme, diktatorisme, korupsi, manipulasi agama sebagai legitimasi politik. Ketiga, inklusivisme politik Islam yang menolak penggunaan symbol-simbol, namun sebaliknya menekankan pada pemahaman makna substansif agama. Sehingga munculnya banyak partai yang berasaskan agama ataupun yang memiliki konstituen mayoritas muslim bukanlah suatu ancaman terhadap integrasi bangsa tapi justru merupakan langkah akomodatif terhadap pluralitas bangsa sepanjang masih dalam koridor demokrasi. Terakomodasinya political interest yang berbeda, serta terciptanya perimbangan kekuatan (balance of power) antar partai yang memiliki ideology yang berbeda. Dengan demikian bukan penyembunyian “bara” konflik yang hanya akan memunculkan “pseudo- integration”. Tapi sikap toleran, egaliter dan demokratis dari semua pihak yang dikedepankan. Semoga demikian.
Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

umpan balik