JALANAN YANG RUSAK:
ANTARA IMAN DAN PEDULI
ANTARA IMAN DAN PEDULI
Musim hujan sudah tiba, tiap hari air mengguyur semua apa yang ada di muka bumi. Jalanan mulai tampak becek dan berlobang, tak peduli yang di kampong ataupun jalan besar yang beraspal. Ketika hujan turun, airnya menggerus dan mengelupas lapisan aspal, membuat lobangan, melebar dan jadilah kolam tanpa ikan di tengah jalanan. Tak sekedar menganga bak kulit terkena luka, tapi juga sangat berbahaya bagi semua pengguna. Kecelakaan tak pandang mata, siapapun dia, bisa jadi korbannya. Ya… kalau itu sekedar lecet-lecet. Bagaimana kalau ternyata urusannya menyangkut keselamatan nyawa manusia, lalu siapa yang mau bertanggung jawab.
Bicara soal jalanan yang rusak, sebagai warga biasa yang bodoh, justru tambah makin bingung dan tambah tak cerdas saja demi melihat kenyataan di jalanan. Pertanyaan sering menggelayut: siapa yang sebetulnya bertanggung jawab. Warga yang kebetulan “nyanding” jalan yang berlobangkah (?), karena tiap kali terjadi kecelakaan, merekalah yang siap menjadi relawan dadakan meski serba tidak mencukupi. Atau pak polisikah(?), karena biasanya tiap ada kecelakaan urusannya kadang sampai ke kepolisian. Tak tahulah…..
Tapi bukankah di lembaga pemerintah kita ada yang namanya Dinas Pekerjaan Umum, (dan juga ada Dinas Perhubungan)? Siapa sebenarnya di antara mereka yang pegang tanggung jawab masalah jalan dan rambu-rambu lalu lintas. Atau jangan-jangan telah terjadi mekanisme ‘bola ping-pong’, alias lempar sana-lempar sini, akhirnya molor bahkan terkesan terbengkalai, sembari menunggu lebih banyak lagi korban berjatuhan. Atau menunggu proses tender yang tak kunjung kelar, atau alasan belum saatnya dilakukan perbaikan. Tapi bukankah biasanya setiap ada proyek, di situ juga ada dana dan proyek pemeliharaan dan perawatan (maintenance) jangka panjang. Tak tahulah…. Sebagai warga biasa kita banyak tak tahu…..
Penulis tersentak saat membuka sebuah kitab hadits yang di situ bicara tentang iman. Lebih tersentak lagi bahwa, ternyata Baginda Rasulullah Muhammad SAW ribuan tahun yang lalu sudah peduli dengan fenomena jalanan yang rusak, berlobang, licin, duri atau paku yang terserak, terhalang karena pohon tumbang dan sebagainya. Ternyata jalanan yang rusak, --di situ dijelaskan--, terkait erat dengan tingkat keimanan seseorang atau masyarakat muslim yang ada. singkatnya sebagai barometer, begitulah persisnya…! Kata Nabi SAW: bahwa salah satu ciri iman (mukmin) adalah peduli dan memiliki kemauan untuk menyingkirkan segala gangguan di jalanan. Rasulullah SAW bersabda:
الإيمان بضع و سبعون أو بضع وستون شعبة فأفضلها قول لاإله إلا الله وادناها إماطة الأذى عن الطريق
والحياء شعبة من الإيمان (رواه مسلم
“Iman ada 70 lebih atau 60 lebih bagian, yang paling utama adalah perkataan Laa ilaaha illallah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan rasa malu adalah satu bagian dari iman” (HR. Muslim).
والحياء شعبة من الإيمان (رواه مسلم
“Iman ada 70 lebih atau 60 lebih bagian, yang paling utama adalah perkataan Laa ilaaha illallah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan rasa malu adalah satu bagian dari iman” (HR. Muslim).
Lalu bagaimana konkritnya korelasi antara keduanya(?), Dan… bagaimana kalau kita lihat kenyataan di Negara barat yang dalam perpektif Islam, mereka bukan muslim dan bukan orang yang beriman, tapi jalanan di sana justru halus dan bebas hambatan, dan tak ada kubangan besar menganga di tengah jalan. Coba kita jujur dan bandingkan, bagaimana dengan jalanan di depan rumah kita, atau jalan besar yang kerap kita lewati. Bukankah banyak pejabat dan pemegang tanggung jawab soal jalanan (sarana transportasi) adalah muslim dan mangaku beriman. Tapi kenapa realitas membuktikan bahwa jalanan rusak di sana sini terkesan terjadi pembiaran sehingga sering terjadi korban jalanan (‘victimisasi di jalan). Fakta sudah bicara bahwa pembunuhan yang kejam adalah di jalan!!! Bisa karena tabrakan ataupun kecelakaan yang diakibatkan jalanan yang sudah tak laik pakai.
Dalam hadits di atas dikatakan bahwa: iman itu ada 70 lebih atau 60 lebih bagian, yang paling utama adalah kalimat tauhid dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan (sesuatu yang menyakitkan dan bisa menghalangi) di jalan. Pengakuan bahwa tidak ada ilah selain Allah adalah puncak dari keyakinan (aqidah) dalam Islam yang menjadi spirit dan sekaligus sebagai timbangan bagi amal-amal setiap mukmin. Ikhlas adalah entitas yang mutlak ada dalam setiap amal mukmin, agar ridlo untuk selalu sepi dari pujian dan pamrih orang lain. Apapun yang diperbuat, semua hanya diorintasikan pada Allah. Seorang petanikah dia, gurukah, karyawankah atau pejabat Negara sekalipun.
Ketika seseorang bekerja dalam lingkar lembaga yang birokratis (pemerintahan), maka semangat profesionalisme dan efisiensi serta ekonomis menjadi spirit dan startingpoint dalam upaya pencapaian tujuan yang maksimal (goal-attainment). Di barat, kinerja barbasis birokratik menjadi suatu aksioma (keharusan yang harus ada) dalam segala system kehidupan yang produktif dalam upaya pemuasan layanan bagi public. Bila ini lemah apalagi gagal, maka publik (masyarakat) punya hak untuk melakukan protes dan kritik atas profesionalitas , sinergitas dan produktifitas satu lembaga. Maka, bila terjadi kecelakaan yang disebabkan jeleknya pelayanan pemerintah dalam urusan transportasi, maka pengguna (masyarakat) berhak atas asuransi.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Barangkali juga seperti itu.., tapi kebanyakan masyarakat merasa bingung harus ke mana ngurusnya, (dan) karena bisa jadi akan terperangkap dalam ruwetnya jaring birokrasi yang panjang . Ironis memang, idealnya, birokrasi yang diharapkan mampu mempercepat urusan, tapi faktanya malah membuat sulit dan ruwet. Inilah PR bagi para pejabat yang ngurusi masalah public service.
Pejabat yang mukmin dan professional, sejatinya akan mendapat nilai plus-plus, dalam menunaikan tanggung jawabnya. Di satu sisi dia sadar bahwa dia akan dimintai pertanggungan-jawab di hadapan Allah SWT dalam bidang yang diembannya, misalnya dalam urusan jalan. Bila dia amanah, maka akan mendapat balasan yang baik dari Allah. Demikian juga sebaliknya. Di sisi yang lain sebagai pejabat negara, dia (mereka) juga akan dimintai tanggung-jawabnya secara kelembagaan sesuai regulasi yang berlaku. Bila baik, maka akan dapat reward. Namun bila jelek maka akan mendapat punishment.
Suatu tindakan terpuji bilamana selaku warga, tiap kali melihat jalanan yang rusak dan jelas membahayakan, kita memberikan informasi kepada pihak yang berkepentingan. Atau bila secara instant bisa diatasi, kita memperbaikinya walau barang sebentar rusak lagi, (kadang merasa capek dechhhhh…). Namun ada juga sikap ignore dengan mengatakan:”Itu bukan urusan saya, khan sudah ada dinas yang mengurusnya??!!! Dalam imajinasi penulis ada bayangan, bahwa semestinya, selama ini, sudah ada mekanisme kerja dan kontrol (pengawasan), serta sinergi antar departemen (dinas) dalam lembaga pemerintahan, sehingga masalah jalanan yang rusak pun sudah included.
Harapan kita, mudah-mudahan jalanan (tetap) segera halus dan nyaman sehingga tidak akan ada lagi korban-korban yang bergelimpangan. Karena sebagai orang yang beriman kita harus selalu menjaga kadar iman kita sampai yang paling rendah sekalipun, yaitu dengan cara menyingkirkan atau menghilangkan segala gangguan yang ada di jalanan. Kepedulian kita ,--khususnya lagi mereka yang bertanggung jawab--, pada kondisi jalanan hendaknya tidak semata alasan profesionalitas, namun lebih dari itu, adalah sebagai perwujudan dari iman kita pada Allah SWT.
Walhamdulillah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
umpan balik